Pages

My Picture

My Picture
Yoggi Prayoga

Wednesday, July 18, 2012

Langkah Antisipatif dalam Mengurangi Pengangguran SMK


Pangan adalah kebutuhan yang paling diperlukan bagi umat manusia untuk meneruskan hidupnya, disamping sebagai kebutuhan hidup, pangan juga berpengaruh pada proses perkembangan manusia yang tergantung dengan kualitas yang ada di dalamnya. Saai ini di Indonesia kebutuhan pangan masih kurang dari standar yang sesuai dengan pertumbuhan penduduk yang bebitu pesat. Misalnya seperti kebutuhan protein hewani yang masih kurang dari standar yang ditetapkan Badan Pangan Dunia atau FAO (Food and Agriculture Organization), minimal enam gram/kapita/hari atau setara daging sebanyak 10,1 kg, telur 3,5 kg, dan susu 6,4 kg/kapita/tahun. Demikian yang disampaikan Direktur Eksekutif Wahana Masyarakat Agribisnis Peternakan Indonesia (WAMAPI) Dadang W Iriana di Jakarta, Rabu (31/10) dalam (korannias.wordpress.com/2007/11/09/rendah-konsumsi-protein-hewani/). Nyatanya saat ini masyarakat Indonesia hanya mengkonsumsi kebutuhan hewani yang kurang dari standar.
Menurut Direktur Jenderal Bina Gizi Kementerian Kesehatan Minarto dalam (http://health.kompas.com/read/2012/06/27/0717072/ Konsumsi. Protein.Hewani.Rendah): “angka pemenuhan kebutuhan protein hewani saat ini 60 persen per orang per tahun. Jumlah itu jauh tertinggal dibandingkan Vietnam yang sudah mencapai 80 persen dan Thailand 100 persen. Hal ini berakibat dengan banyaknya penduduk bertubuh pendek, gemuk, dan rentan terhadap penyakit degeneratif. Kurangnya pemenuhan kebutuhan protein hewani mengakibatkan pembangunan manusia Indonesia tertinggal dibandingkan negara Asia lain.


Kurangnya konsumsi protein masyarakat Indonesia saat ini diakibatkan masih kurangnya populasi peternakan, sehingga kebutuhan protein di Indonesia belum tercukupi. Data yang di sebutkan oleh BPS mengenai Populasi Peternakan yang di Indonesia pada Agustus tahun 2010 adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Populasi Ternak Besar dan Kecil pada Tahun 2010
No.
Jenis Ternak
Populasi
1.
Sapi Potong
13,583,000
2.
Sapi Perah
495,000
3.
Kerbau
2,005,000
4.
Kuda
409,000
5.
Kambing
16,821,000
6.
Domba
10,932,000
7.
Babi
7,212,000
8.
Ayam Buras
268,957,000
9.
Ayam Ras Petelur
103,841,000
10.
Ayam Ras Pedaging
1,249,952,000
11.
Itik
45,292,000
Sumber: Direktorat Jendral Peternakan
Terjadinya kekurangan populasi ternak di Indonesia akibat dari rendahnya sumber daya masyarakat dalam pengembangan Agribisnis bidang peternakan. Terbukti menurut data badan pusat statistik (BPS) mengenai jumlah perusahaan budidaya peternakan pada tahun 2010 yang masih kurang, antara lain pada tabel berikut:
Tabel 2. Jumlah Perusahaan Peternakan Besar dan Kecil Menurut Badan          Hukum/Usaha
No.
Badan Hukum
Jumlah
1.
PT/CV/Firma
67
2.
BUMN
7
3.
Koperasi
6
4.
Perorangan
0
5.
Lainnya
62
Jumlah
142
Sumber: Badan Pusat Statistik tahun 2010
Keterangan pada tabel dua menyebutkan perusahaan paling banyak didominasi oleh PT, CV dan Firma, sedangkan untuk perorangan pada tahun 2010 tidak ada sama sekali. Hal ini karena peternakan yang didirikan hanya sekala kecil (rumahan) yang didirikan oleh para petani sebagai tambahan penghasilan untuk mencukupi hidupnya.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut langkah konkrit yang harus dilakukan adalah dengan memperbanyak pengusaha di bidang agribisnis peternakan. Hal ini bisa direalisasikan dengan ditingkatkannya pendidikan bagi masyarakat untuk perkembangan taraf hidup. Maka dari itu, pendidikan adalah jalan dalam mengimplementasikan tujuan yang ingin dicapai karena mempunyai peran yang sangat strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan upaya mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintah merumuskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjelaskan bahwa pendidikan dilakukan agar mendapatkan tujuan yang diharapkan bersama.
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Pasal 3 UU RI No 20/ 2003).

Jadi jelaslah pendidikan merupakan kegiatan yang dilakukan dengan sengaja agar masyarakat khususnya anak didik memiliki sikap dan kepribadian yang baik, sehingga penerapan pendidikan harus diselengggarakan sesuai dengan Sistem Pendidikan Nasional. Dengan pendidikan diharapkan masalah yang muncul bisa teratasi, sehingga terciptalah minat siswa dalam mendirikan usaha bidang peternakan. Hal ini bisa terealisasi dengan adanya SMK yang mempelajari ilmu-ilmu kejuruan sebagai dasar untuk meningkatkan keterampilan dalam melakukan bidang yang digeluti sesuai minatnya terutama bidang peternakan.
Keuntungan pembangunan usaha peternakan selain untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat, yaitu dapat membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan perekonomian Negara. Karena dalam kenyataannya masih banyaknya lulusan SMK yang menganggur dan bekerja dibidang yang tidak sesuai dengan kejuruannya. Hal ini terbukti dari hasil data BPS (Badan Pusat Statistik tahun 2011) tentang Angkatan Kerja Nasional/pengangguran SMTA pada tahun 2011.
Tabel 1. Data Angkatan Kerja Nasional Tingkat SMTA
No.
Jenjang Pendidikan
Bulan
Februari
Agustus
1.
SMTA (Umum dan Kejuruan)
3.346.477 Jiwa
3.074.946 Jiwa
Sumber: Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 2011.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS): “Angka pengangguran terbuka Indonesia  mencapai 7,7 juta orang pada Agustus 2011. Jumlah 6,56% ini dari  total angkatan kerja berdasarkan pendidikan dan didominasi lulusan SMA dan SMK. Dalam data itu, pada Februari 2011, tingkat pengangguran terbuka tertinggi lulusan SMA mencapai 10,66% dan SMK sebesar 10,43%”.

Menurut Deputi Statistik Sosial BPS Winandi Imawan mengatakan pada Agustus 2011: “dalam setahun terakhir Agustus 2011, jumlah penduduk yang bekerja menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan untuk semua golongan pendidikan mengalami kenaikan.  “Kecuali untuk jenjang SD ke bawah dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebesar 0,61% dan 0,23%,”.

Menurut Winandi: “turunnya jumlah angkatan kerja didorong oleh berkurangnya pekerja di sektor pertanian dengan jumlah tenaga kerja yang turun mencapai 3,1 juta jiwa”.

Hal tersebut menjadi momok dalam pelaksanaan Sistem Pendidikan Nasional dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Padahal dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran para guru sudah memberikan bekal pengetahuan, keterampilan, pengetahuan, sikap yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja.
Maka wirausahalah yang mampu menciptakan lapangan kerja agar mempu menyerap tenaga kerja. Menjadi pengusaha menjadi alternatif pilihan yang tepat, paling tidak dengan berwirausaha berarti menyediakan lapangan kerja bagi diri sendiri tidak bergantung kepada orang lain. Dan apabila usahanya semakin maju, mempu membuka lapangan kerja bagi orang lain.
Menurut Sosiolog David McClelland (dalam http://indonesia.go.id), “untuk membangun ekonomi suatu bangsa, minimal dibutuhkan dua persen wirausahawan dari total jumlah penduduk”. Sedangkan,

Menurut Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hasan (dalam http://bisnis..news.viva.co.id) tahun 2012: “persentase jumlah pengusaha saat ini baru 1,56 persen dari total penduduk Indonesia”. Jadi, persentase pengusaha di Indonesia masih kurang 0,44 % untuk meningkatkan perekonomian Negara. 

Data di atas disimpulkan bahwa lulusan SMK Pertanian banyak yang beralih bekerja di bidang industri lain karena kesulitan dalam bekerja dan memulai usaha di bidang pertanian. Sedangkan hasil dari Sektor Pertanian paling dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.

Tuesday, July 3, 2012

APLIKASI PENGGUNAAN STARDEC DALAM PROSES PEMBUATAN KOMPOS TERNAK RUMINANSIA








LAPORAN TUGAS AKHIR

APLIKASI PENGGUNAAN STARDEC DALAM PROSES PEMBUATAN KOMPOS TERNAK RUMINANSIA


Disusun Sebagai Persyaratan Menyelesaikan Tugas Akhir
di Program Studi Pendidikan Teknologi Agroindustri
Bidang Konsentrasi Teknologi Peternakan





Oleh
Yoggi Prayoga
0811705





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNOLOGI AGROINDUSTRI
FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
KERJASAMA DENGAN
PUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN PERTANIAN
TAHUN 2012


LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN TUGAS AKHIR



APLIKASI PENGGUNAAN STARDEC DALAM PROSES PEMBUATAN KOMPOS TERNAK RUMINANSIA


Disusun Sebagai Persyaratan Melaksanakan Tugas Akhir
di Program Studi Pendidikan Teknologi Agroindustri
Bidang Konsentrasi Teknologi Peternakan


Oleh
Yoggi Prayoga
0811705


Bandung, ....April 2012
Pembimbing,





Mujiyono SP, MP
NIP. 196505081990031003



Ka. DKPT PPPPTK Pertanian






Ir. Anton Sugiri, MP
NIP 195906151988031003

Ketua Prodi PTAG FPTK UPI






Dr. Sri Handayani, M.Pd
NIP. 196609301997032001


SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir ini benar-benar karya saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan orang lain kecuali sebagai acuan atau kutipan dengan mengikuti tata penulisan karya ilmiah yang lazim.


Bandung, .....April 2012
Yang menyatakan,



Yoggi Prayoga

















Yoggi Prayoga. NIM. 0811705. Aplikasi Penggunaan Stardec Dalam Proses Pembuatan Kompos Ternak Ruminansia di PPPPTK Pertanian Cianjur Departemen Agribisnis Peternakan. Pembimbing: Mujiyono SP, MP.
Usaha peternakan mempunyai prospek untuk dikembangkan karena masih banyaknya industri yang belum memanfaatkan limbah yang dihasilkan. Selain mendapat keuntungan dari produk hewani, namun usaha peternakan juga dapat menghasilkan produk berupa limbah yang dapat menjadi sumber penghasilan. Hal ini dilakukan dengan cara mendaur ulang menjadi pupuk kompos yang berfungsi sebagai soil conditioner (pembenah tanah), sehingga kelestarian lingkungan bisa terjaga dengan baik.
Pelaksanaan Tugas Akhir dengan judul Aplikasi Penggunaan Stardec Dalam Proses Pembuatan Kompos Ternak Ruminansia dilakukan pada tanggal tanggal 23 Pebruari sampai dengan 15 April 2012 di PPPPTK Pertanian Cianjur Departemen Agribisnis Peternakan. Strategi pelaksanaan yang digunakan adalah dengan metoda eksperimen yaitu suatu penelitian yang berusaha mencari pengaruh variable tertentu terhadap variable yang lain dalam kondisi yang terkontrol secara ketat. Bentuk metode eksperimen yang diambil adalah true experimental. Strategi pelaksanaan menggunkan strategi komparatif dengan membandingkan hasil dari pengamatan pembuatan kompos dengan tiga perlakuan, yaitu pemberian jumlah aktivator stardec yang berbeda pada masing-masing bahan P1 (0,15 %), P2 (0,25 %), P3 (0,35 %). Sedangkan dalam teknik pengambilan sample menggunakan teknik probability yaitu teknik pengambilan sample dengan memberi peluang yang sama bagi setiap unsur dari populasi untuk dipilih menjadi sample.
Kegiatan Tugas Akhir Aplikasi Penggunaan Stardec dalam Proses Pembuatan Kompos Ternak Ruminansia dimulai dari persiapan alat dan bahan seperti, penimbangan dengan jumlah bahan baku meliputi: kotoran sapi 2100 kg, stardec 5.98 kg, serbuk gergaji 105 kg, abu organik 63 kg, bahan organic 63 kg, kapur/kalsit 63 kg. Selanjutnya proses penumpukan bahan, penyiraman, penirisan, pencampuran bahan baku, pembalikan, pendinginan  sampai dengan penyaringan.







PRAKATA

Bissmillahirrahmanirrahim...,
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH S.W.T yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan Tugas Akhir yang berlangsung dari tanggal 23 Pebruari sampai dengan 15 April 2012 di PPPPTK Pertanian Cianjur Departemen Agribisnis Peternakan sampai dengan penyelesaian laporan yang berjudul “Aplikasi Penggunaan Stardec Dalam Proses Pembuatan Kompos Ternak Ruminansia”.
Laporan ini merupakan persyaratan akademik guna sebagai mendapatkan pengalaman dan kompetensi nyata di lapangan juga agar mahasiswa mampu mengaplikasikannya dimasyarakat dan pada saat perkuliahan.
Pada kesempatan ini penulis dengan penuh bersyukur mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik selama dilaksanakannya tugas akhir juga dalam penyelesaian laporan ini. Penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.      Ir. Siswoyo, M.Si, Kepala Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Pertanian Cianjur.
2.      Ir. Anton Sugiri, MP, Kepala Divisi Kerjasama Pendidikan Tinggi PPPPTK Pertanian Cianjur.
3.      Dr. Sri Handayani M.Pd, Ketua Program Studi Pendidikan Teknologi Agroindustri FPTK UPI yang memberikan pengarahan kepada mahasiswa.
4.      Ir. Tutik Nuryati, MP, Kepala Departemen Agribisnis Peternakan PPPPTK Pertanian Cianjur.
5.      Mujiyono SP, MP, Pembimbing yang selalu membimbing dan memperbaiki kesalahan selama proses bimbingan dan penyelesaian laporan ini.
6.      Segenap dosen pengajar dan karyawan PPPPTK Pertanian Cianjur.
7.      Ibunda dan Ayahanda tercinta yang terus mendukung saya dalam menyelesaikan tugas, dan tak henti-hentinya memberikan limpahan kasih sayang baik material maupun spiritual.
8.      Keluarga dan sodaraku yang selalu memberikan semangat dan motivasi disetiap suka dan duka.
Namun penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penyajian laporan ini belum mencapai kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan penyusunan dan penyajian laporan dimasa yang akan datang.
Akhirnya, penulis mengucapkan semoga penulisan dan penyusunan laporan ini bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan khusunya bagi penulis sendiri.


   Cianjur,           April 2012


        Penulis
     Yoggi Prayoga
















DAFTAR ISI

      Halaman
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................. i
SURAT PERNYATAAN................................................................................ ii
ABSTRAK......................................................................................................... iii
PRAKATA........................................................................................................ iv
DAFTAR ISI..................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL............................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ ix
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... x

BAB I. PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang................................................................................. 1
1.2.       Perumusan Masalah.......................................................................... 1
1.3.       Tujuan Kegiatan............................................................................... 2
1.4.       Ruang Lingkup Kegiatan................................................................. 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.       Pengertian dan Karakteristik Limbah Peternakan ...........................  3
2.2.       Dampak Limbah Peternakan............................................................ 3
2.3.       Pengelolaan Limbah Peternakan...................................................... 4
2.4.       Pengertian Pupuk Kompos dan Pengomposan................................ 4
2.5.       Tatalaksana Pembuatan Pupuk Kompos.......................................... 7
2.5.1.      Mempersiapkan Bahan Baku................................................ 7
2.5.2.      Peralatan............................................................................... 7
2.5.3.      Pelaksanaan Pembuatan Pupuk Kompos.............................. 9
2.6.       Proses Pengomposan........................................................................ 11
2.7.       Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan .....................................  12
2.8.       Kontrol Proses Produksi Kompos.................................................... 18
2.9.       Standar Kualitas Kompos................................................................ 20

BAB III. METODOLOGI
3.1.       Tempat dan Waktu........................................................................... 23
3.2.       Alat dan Bahan................................................................................ 23
3.3.       Rancangan/Strategi Pelaksanaan...................................................... 24
3.4.       Parameter Pengamatan dan Teknik Pengumpulan Data.................. 26
3.5.       Jadwal Pelaksanaan.......................................................................... 27

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.       Hasil Kegiatan.................................................................................. 28
4.1.1.      Alur Proses Pembuatan Pupuk Kompos............................... 28
4.1.2.      Proses Pembuatan Pupuk Kompos....................................... 28
1)        Persiapan Bahan dan Peralatan..................................... 28
2)        Penimbangan................................................................. 32
3)        Penumpukan.................................................................. 34
4)        Penyiraman.................................................................... 35
5)        Penirisan........................................................................ 35
6)        Pencampuran Bahan Baku............................................ 35
7)        Monitoring..................................................................... 36
8)        Pembalikan.................................................................... 36
9)        Pendinginan................................................................... 37
10)    Penyaringan................................................................... 37
4.2.       Pembahasan...................................................................................... 37
4.2.1.      Perlakuan 1........................................................................... 39
4.2.2.      Perlakuan 2........................................................................... 40
4.2.3.      Perlakuan 3........................................................................... 42

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1.       Simpulan.......................................................................................... 43
5.2.       Saran................................................................................................ 43

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 44
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.     Tahapan Pengomposan..................................................................... 9
Tabel 2.     Organisme yang Terlibat dalam Proses Pengomposan..................... 12
Tabel 3.     Imbangan C/N dari Berbagai Sumber Bahan Organik..................... 13
Tabel 4.     Diagnosis Permasalahan, Penyebab dan Cara Menanggulanginya.. 19
Tabel 5.     Kandungan Unsur Hara dalam Kompos.......................................... 20
Tabel 6.     Standar Kualitas Pupuk Asosiasi Bark Kompos Jepang.................. 21
Tabel 7.     Jadwal Pelaksanaan Tugas AKhir.................................................... 27
Tabel 8.     Kebutuhan Bahan Pembuatan Pupuk Kompos................................ 32
Tabel 9.     Hasil Uji Organoleptik..................................................................... 38
Tabel 10.   Hasil Analisis Organoleptik Perlakuan 1.......................................... 39
Tabel 11.   Hasil Analisis Organoleptik Perlakuan 2.......................................... 40
Tabel 12.   Hasil Analisis Organoleptik Perlakuan 3.......................................... 42

















DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1.      Kotoran Sapi ..............................................................................  29
Gambar 2.      Aktivator Stardec........................................................................ 29
Gambar 3.     Bahan Organik............................................................................ 30
Gambar 4.                                                                                                            Serbuk Gergaji       30
Gambar 5...... Abu organik (sekam bakar)......................................................... 31
Gambar 6.      Kalsit/kapur................................................................................. 31
Gambar 7.     Proses Penimbangan.................................................................... 32
Gambar 8.     Tumpukan Bahan Kompos.......................................................... 35
Gambar 9.     Proses Pencampuran Bahan......................................................... 36
Gambar 10.   Finishing Proses Pencampuran.................................................... 36



















DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1... Jurnal Kegiatan................................................................................... 47
Lampiran 2.   Kartu Bimbingan Tugas Akhir........................................................... 50
Lampiran 3.   Photo Kegiatan.................................................................................. 53
Lampiran 4.   Power Point Seminar.......................................................................... 57
























 BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Peternakan merupakan jenis usaha hasil hewani, diantaranya adalah daging, susu dan hasil samping berupa limbah. Hasil samping peternakan seringkali menimbulkan protes masyarakat karena aroma dan limbah yang dapat menimbulkan penyakit yang berbahaya. Maka dalam hal ini harus ada penanganan secara signifikan dengan mendaur ulang limbah menjadi produk yang bernilai ekonomis, terbukti banyaknya perusahaan peternakan mulai memperhatikan lingkungan dengan memberlakukan pengolahan limbah, salah satunya penanganan kotoran ternak. Sehingga hal ini berdampak positif terhadap lingkungan yang terjaga dengan baik. Peternakan seringkali melakukan pengolahan limbah kotoran dalam skala besar yang mencapai puluhan ton bahan baku. Beda halnya dengan peternak kecil yang hanya menghasilkan sedikit limbah kotoran dari beberapa ternak. Maka dari itu harus ada penelitian tentang pengembangan pengolahan limbah yang dibuat untuk mendukung usaha peternakan kecil sehingga limbah bisa termanfaatkan dengan baik. Beberapa metoda yang akan dilakukan adalah dengan cara  menganalisis hasil aplikasi penggunaan stardec dan implementasi pengolahan limbah menjadi pupuk kompos.

1.2.  Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah diantaranya adalah:
1.2.1.      Bagaimana perbandingan hasil pembuatan kompos yang diberi proporsi stardec yang berbeda ditinjau dari empat parameter: warna, aroma, tekstur dan temperatur?
1.2.2.      Bagaimana proses pembuatan pupuk kompos?


1


1.3.  Tujuan
1.3.1.     Mengetahui pengaruh pemberian proporsi stardec yang berbeda terhadap warna, aroma, tekstur dan temperatur kompos selama proses produksi.
1.3.2.     Mengetahui efektifitas usaha pembuatan pupuk kompos.

1.4.  Ruang Lingkup Kegiatan
Kegiatan tugas akhir mencakup semua proses dalam pembuatan pupuk kompos berbahan dasar kotoran ruminansia yang di dekomposisi dengan aktivator stardec. Kegiatan berawal dari persiapan alat dan bahan, penimbangan, pencampuran, proses dekomposisi meliputi: penumpukan timbunan dan pembalikan sampai pematangan. Pada proses dekomposisi yaitu sewaktu pembalikan dilakukan monitoring (pengontrolan temperatur dan organoleptik). Parameter yang diambil dari pengaruh pemberian jumlah aktivator pada tiga bahan perlakuan. Hal ini ditinjau dari pengujian organoleptik dilihat dari segi warna, aroma, tekstur, kelembapan dan temperatur. Kegiatan ini dilakukan selama proses dekomposisi berlangsung yaitu setiap satu minggu sekali sampai kompos bisa dinyatakan matang.












 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.       Pengertian  dan Karakteristik Limbah Peternakan
Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk ternak, dan sebagainya. Menurut Soehadji (1992), limbah peternakan meliputi semua kotoran yang dihasilkan dari suatu kegiatan usaha peternakan baik berupa limbah padat, cairan, gas, maupun sisa pakan. Limbah padat merupakan semua limbah yang berbentuk padatan atau dalam fase padat (kotoran ternak, ternak yang mati, atau isi perut dari pemotongan ternak). Limbah cair adalah semua limbah yang berbentuk cairan atau dalam fase cairan (air seni atau urine, air dari pencucian alat-alat). Sedangkan limbah gas adalah semua limbah berbentuk gas atau dalam fase gas.

2.2.       Dampak Limbah Peternakan
Semakin berkembangnya usaha peternakan, limbah yang dihasilkan semakin meningkat. Total limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari species ternak, besar usaha dan tipe usaha. Kotoran sapi yang terdiri dari feces dan urine merupakan limbah ternak yang paling banyak dihasilkan, sebagian besar manure dihasilkan oleh ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing, dan domba. Hasil limbah tersebut umumnya menghasilkan pencemaran gas metan yang menyebabkan bau yang tidak enak bagi lingkungan sekitar. Gas metan (CH4) berasal dari proses pencernaan ternak ruminansia. Gas metan adalah salah satu gas yang bertanggung jawab terhadap pemanasan global dan perusakan ozon, dengan laju 1 % per tahun dan terus meningkat. Apalagi di Indonesia, emisi metan per unit pakan atau laju konversi metan lebih besar karena kualitas hijauan pakan yang diberikan rendah. Semakin tinggi jumlah pemberian pakan kualitas rendah, semakin tinggi produksi metan (Suryahadi dkk., 2002).

2.3.       Pengelolaan Limbah Peternakan
Limbah peternakan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan, salah satunya dapat diperbaharui (renewable) selama masa produksi masih berlangsung. Limbah ternak sebetulnya masih mengandung nutrisi atau zat padat potensial yang dapat dimanfaatkan untuk bahan makanan ternak, khususnya pupuk pupuk organik. Pupuk organik digunakan untuk kebutuhan unsur hara tanah sehingga mencukupi kebutuhan nutrient HMT (Hijauan Makanan Ternak) yang akan dikonsumsi ternak. Hal ini dilihat dari nutrient (zat makanan) yang terkandung pada limbah seperti protein, lemak, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN), vitamin, mineral, mikroba atau biota, dan zat-zat yang lain (unidentified subtances). Selain itu, limbah juga bisa dimanfaatkan sebagai energi dan media berbagai tujuan (Sihombing, 2002).

2.4.       Pengertian Pupuk Kompos dan Pengomposan
2.4.1.      Pupuk Kompos
Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembap, dan aerobik atau anaerobik (Modifikasi dari J.H. Crawford, 2003).

2.4.2.      Pengomposan
Pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Proses pengomposan melibatkan  sejumlah organisme tanah termasuk bakteri, jamur, protozoa, aktinomisetes, nematoda, cacing tanah, dan serangga. Populasi dari semua organisme ini berfluktuasi, tergantung dari proses pengomposan. Ada dua mekanisme proses pengomposan, yakni pengomposan secara aerobik dan anaerobik. Kedua proses pengomposan ini dibedakan berdasarkan ketersediaan oksigen bebas, diantaranya:
·      Pengomposan secara Aerobik
Pada proses pengomposan secara aerobik, oksigen mutlak dibutuhkan. Mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan membutuhkan oksigen dan air untuk merombak bahan organik dan mengasimilasikan sejumlah karbon, nitrogen, fosfor, belerang, dan unsur lainnya untuk sintesis protoplasma sel tubuhnya. Karbon diasimilasikan lebih banyak daripada nitrogen dan digunakan sebagai sumber energi serta membentuk protoplasma. Sekitar dua pertiga bagian dari karbon dikeluarkan dalam bentuk karbondioksida  (CO2) sedangkan sisanya akan berkombinasi dengan nitrogen dalam sel.
Proses perombakan bahan organik secara aerobik akan menghasilkan humus, karbondioksida, air, dan energi. Beberapa bagian energinya digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme, dan sisanya dikeluarkan dalam bentuk panas. Secara keseluruhan, reaksinya akan berlangsung sebagai berikut.
                                                    Mikroba aerob
Bahan Organik                             CO2+H2O+hara+humus+energi
                                                       N, P, K
·      Pengomposan Anaerobik
Proses pengomposan anaerobik berjalan tanpa adanya oksigen. Biasanya, prosesnya dilakukan dalam wadah tertutup sehingga tidak ada udara yang masuk (hampa udara). Proses pengomposan ini melibatkan mikroorganisme anaerob untuk membantu mendekomposisi bahan yang dikomposkan. Bahan baku yang dikomposkan secara anaerob biasanya berupa bahan organik yang berkadar air tinggi.
Pengomposan anaerobik akan menghasilkan gas metan (CH4), karbondioksida (CO2), dan asam organik yang memiliki bobot molekul rendah seperti asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam laktat, dan asam suksinat. Gas metan bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif (biogas). Sisanya berupa lumpur yang mengandung bagian padatan dan cairan. Bagian padatan ini yang disebut kompos. Namun, kadar airnya masih tinggi sehingga sebelum digunakan harus dikeringanginkan.

2.4.3.      Manfaat Pupuk Kompos
Kompos mempunyai manfaat yaitu memperbaiki struktur tanah, dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah serta akan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah.
Kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek:
·      Aspek Ekonomi :
-       Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah.
-       Mengurangi volume/ukuran limbah.
-       Memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari pada bahan asalnya.

·      Aspek Lingkungan :
-       Mengurangi polusi udara karena pembakaran limbah dan pelepasan gas metana dari kotoran akibat bakteri metanogen.
-       Mengurangi kebutuhan lahan untuk penimbunan.

·      Aspek bagi tanah/tanaman:
-       Meningkatkan kesuburan tanah.
-       Memperbaiki struktur dan struktur tanah.
-       Meningkatkan kapasitas penyerapan air tanah.
-       Meningkatkan aktivitas mikroba tanah.
-       Meningkatkan kualitas hasil panen (rasa, nilai gizi, dan jumlah panen).
-       Menyediakan hormon dan vitamin bagi tanaman.
-       Meningkatkan retensi/ketersediaan hara di dalam tanah.
2.5.       Tatalaksana Pembuatan Pupuk Kompos
Pembuatan pupuk kompos memiliki beberapa persiapan dan tahapan yang harus dilakukan. Hal tersebut antara lain:
2.5.1.      Mempersiapkan Bahan Baku
Bahan utama pembuatan Pupuk Kompos adalah limbah organik, khususnya limbah ternak (feces, urine dan sisa pakan), dicampur dengan beberapa bahan pembantu yang merupakan bahan baku organik. Penggunaan limbah ternak khususnya kotoran sapi yang dipilih dalam pembuatan pupuk kompos, karena bahan ini sangat melimpah dan memiliki kandungan nitrogen, pottassium dan materi serat yang tinggi, tidak ada masalah polusi logam berat dan antibiotik. Sementara kandungan phospor yang rendah bisa disuplai dari sumber lain. Bahan tersebut merupakan bahan pembantu berupa serbuk gergaji, abu dari sisa pembakaran bahan organik dan kalsit. Sementara untuk mempercepat proses dekomposisi, sekaligus untuk meningkatkan kualitas hasil yang dipakai, digunakan starter khusus yang dikenal dengan nama Stardec, starter ini berfungsi sebagai aktivator dekomposer yang mengurai bahan baku menjadi kompos. Stardec sendiri adalah starter yang dikembangkan oleh PT Lembah Hijau Multifarm Research Station. Kandungan didalamnya terdapat beberapa mikroba pengurai limbah, yaitu mikroba lignolitik, mikroba selulotik, mikroba proteolitik, mikroba lipolitik, mikroba aminolitik, dan mikroba fiksasi nitrogen non-simbiotik.

2.5.2.      Peralatan
Peralatan yang diperlukan dalam pengomposan secara aerobik terdiri dari peralatan untuk penanganan bahan dan peralatan perlindungan keselamatan dan kesehatan bagi pekerja. Berikut ini adalah peralatan yang digunakan untuk proses pembuatan kompos:


·           Sekop
Digunakan sebagai alat untuk proses pembalikan, pengayakan atau tugas-tugas lainnya.
·           Garpu/cangkrang
Digunakan untuk membantu proses pembalikan tumpukan bahan dan pemilahan bahan baku kompos.
·           Saringan/ayakan
-       Digunakan untuk mengayak kompos yang sudah matang agar diperoleh ukuran yang sesuai.
-       Ukuran lubang saringan disesuaikan dengan ukuran kompos yang diinginkan.
-       Saringan bisa berbentuk papan saring yang dimiringkan atau saringan putar.
·           Termometer
-       Digunakan untuk mengukur suhu tumpukan.
-       Pada bagian ujungnya dipasang tali untuk mengulur termometer ke bagian dalam tumpukan dan menariknya kembali dengan cepat.
·           Timbangan
-       Digunakan untuk menimbang bahan baku yang akan dibuat kompos.
-       Jenis timbangan dapat disesuaikan dengan kebutuhan penimbangan dan pengemasan.
·           Sepatu boot
Digunakan untuk melindungi kaki dari benda-benda yang berbahaya selama proses pembuatan kompos.
·           Sarung tangan
Digunakan oleh pekerja untuk melindungi tangan selama melakukan proses pembuatan kompos.


·           Masker
Digunakan oleh pekerja untuk melindungi pernafasan dari debu dan gas bahan terbang lainnya
2.5.3.      Pelaksanaan Pembuatan Pupuk Kompos
Menurut Sutanto., 2002. Pembuatan kompos dapat dibagi menjadi tiga tahap seperti disajikan dalam Tabel 1. Pada tahap awal atau dekomposisi intensif berlangsung, dihasilkan suhu yang cukup tinggi dalam waktu yang relatif pendek dan bahan organik yang mudah terdekomposisi diubah menjadi senyawa lain. Pada tahap pematangan utama dan pasca pematangan, bahan yang sukar akan terdekomposisi akan terurai dan membentuk ikatan kompleks lempung humus.
Tabel 1. Tahapan Pengomposan
No.
Tahapan
Pematangan Bahan
Produk
Kategori Pematangan
1.
Tahap dekomposisi dan sanitasi
Pra-matang/ dekomposisi intensif
Kompos segar
II
2.
Tahap konversi
Pematangan utama
Kompos segar
III
3.
Tahap sintetik
Pasca pematangan
Kompos matang
IV & V
Sumber: Sutanto (2002)
Adapun tahap-tahap pengomposan secara rinci di bawah ini:
·           Pemilahan Bahan Baku Kompos
Pada tahap ini dilakukan pemisahan bahan baku dari bahan anorganik (plastik dan barang berbahaya). Pemilahan harus dilakukan dengan teliti karena akan menentukan keberhasilan proses dan mutu kompos yang dihasilkan.
·           Pengecil Ukuran
Pengecil ukuran dilakukan untuk memperluas permukaan bahan baku, sehingga bahan baku dapat dengan mudah dan cepat didekomposisi menjadi kompos.


·           Penyusunan Tumpukan
-       Bahan baku kompos yang telah melewati tahap pemilahan dan pengecil ukuran kemudian disusun menjadi tumpukan.
-       Desain penumpukan yang biasa digunakan adalah desain melingkar membentuk kerucut dengan keliling 1.7 meter dan tinggi 1-1.5 m.
·           Pembalikan
Pembalikan dilakukan untuk membuang panas yang berlebihan, memasukkan udara segar ke dalam tumpukan bahan, meratakan proses pelapukan di setiap bagian tumpukan, meratakan pemberian air (60 % kadara air bahan), serta membantu penghancuran bahan menjadi partikel kecil-kecil.
·           Penyiraman
-       Pembalikan dilakukan terhadap bahan baku dan tumpukan yang terlalu kering (kelembapan kurang dari 50%).
-       Secara manual perlu tidaknya penyiraman dapat dilakukan dengan memeras segenggam bahan dari bagian dalam tumpukan.
-       Apabila pada saat digenggam kemudian diperas tidak keluar air, maka tumpukan bahan baku harus ditambahkan air. sedangkan jika sebelum diperas sudah keluar air, maka tumpukan terlalu basah oleh karena itu perlu dilakukan pembalikan.
·           Pendinginan
-       Setelah pengomposan berjalan 30 – 40 hari, suhu tumpukan akan semakin menurun hingga mendekati suhu ruangan.
-       Pada saat itu tumpukan telah lapuk, berwarna coklat tua atau kehitaman. Kompos masuk pada tahap pematangan selama 14 hari.


·           Penyaringan
-       Penyaringan dilakukan untuk memperoleh ukuran partikel kompos sesuai dengan kebutuhan serta untuk memisahkan bahan-bahan yang tidak dapat dikomposkan yang lolos dari proses pemilahan di awal proses.
-       Bahan yang belum terdekomposisi dikembalikan ke dalam tumpukan yang baru.
·           Pengemasan dan Penyimpanan
-       Kompos yang telah disaring dikemas dalam kantung sesuai dengan kebutuhan pemasaran.
-       Kompos yang telah dikemas disimpan dalam gudang yang aman dan terlindung dari kemungkinan tumbuhnya jamur dan tercemari oleh bibit jamur dan benih gulma dan benih lain yang tidak diinginkan yang mungkin terbawa oleh angin.

2.6.       Proses Pengomposan
Proses pengomposan akan segera berlansung setelah bahan-bahan mentah dicampur. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 40o - 75o C. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi dekomposisi/penguraian bahan organik yang sangat aktif.
Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 – 40% dari volume/bobot awal bahan.
Tabel 2. Organisme yang terlibat dalam proses pengomposan
Kelompok Organisme
Organisme
Jumlah/gr kompos
Mikroflora
Bakteri; Aktinomicetes; Kapang
109 - 109; 105 108; 104 - 106
Mikrofanuna
Protozoa
104 - 105
Makroflora
Jamur tingkat tinggi
Makrofauna
Cacing tanah, rayap, semut, kutu, dll
Proses pengomposan tergantung pada :
2.6.1.      Karakteristik bahan yang dikomposkan
Karena dalam proses dekomposisi semakin kecil partikel bahan baku semakin cepat pula kematangan kompos.
2.6.2.      Aktivator pengomposan yang dipergunakan
Aktivator dipengaruhi oleh jenis yang digunakan, apabila aktivator yang digunakan dari jenis aerob maka dalam proses pembuatan harus diperhatikan ketercukupan udara pada timbunan kompos, karena mikroba aerob membutuhkan udara. Sehingga aerasi dalam timbunan kompos harus di jaga dengan baik. Apabila tidak terjaga maka mikroba akan mati dan kompos tidak akan berhasil dibuat.
2.6.3.      Metode pengomposan yang dilakukan
Keberhasilan dalam proses dekomposisi dipengaruhi oleh tatalaksana pembuatan yang dilakukan. Apabila proses produksi tidak sesuai dengan prosedur yang ada, maka akibatnya akan terjadi kegagalan.

2.7.       Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan
Proses pengomposan merupakan proses biokimia sehingga setiap faktor yang mempengaruhi mikroorganisme tanah akan mempengaruhi laju dekomposisi tersebut. Laju dekomposisi bahan organik (bahan baku kompos) menjadi kompos yang matang tergantung dari beberapa faktor diantaranya:
2.7.1.      Imbangan C/N
Imbangan C/N bahan organik (bahan baku kompos) merupakan faktor terpenting dalam laju pengomposan. Proses pengomposan akan berjalan baik jika imbangan C/N bahan organik yang dikomposkan sekitar 25-35. Imbangan C/N yang terlalu tinggi akan menyebabkan proses pengomposan berlangsung lambat. Keadaan ini disebabkan mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan kekurangan nitrogen (N). Sementara itu, imbangan yang terlalu rendah akan menyebabkan kehilangan nitrogen dalam bentuk ammonia yang selanjutnya akan teroksidasi.
Setiap bahan organik memiliki imbangan C/N yang berbeda. Imbangan C/N limbah ternak umumnya lebih rendah dibandingkan dengan C/N dari tanaman. Karena itu, penggunaan sebagai bahan baku kompos harus dicampur dengan bahan organik yang memiliki imbangan C/N tinggi sehingga dapat menghasilkan imbangan C/N yang optimal.
Tabel 3. Imbangan C/N dari berbagai sumber bahan organik
No.
Jenis Bahan Organik
Imbangan C/N
1.
Urine Ternak
0,8
2.
Kotoran Ayam
5,6
3.
Kotoran Sapi
15,8
4.
Kotoran Babi
11,4
5.
Kotoran Manusia (tinja)
6-10
6.
Darah
3
7.
Tepung Tulang
8
8.
Urine Manusia
0,8
9.
Eceng Gondok
17,6
10.
Jerami Gandum
80-130
11.
Jerami Padi
80-130
12.
Ampas Tebu
110-120
13.
Jerami Jagung
50-60
14.
Sesbania sp
17,9
15.
Serbuk Gergaji
500
16.
Sisa Sayuran
11-27
Sumber: Gaur A.C., 1983
Kecepatan dekomposisi bahan organik ditunjukkan oleh perubahan imbangan C/N. Selama proses mineralisasi, imbangan C/N bahan-bahan yang banyak mengandung N akan berkurang menurut waktu. Kecepatan kehilangan C lebih besar daripada N sehingga diperoleh imbangan C/N yang lebih rendah (10-20). Apabila imbangan C/N sudah mencapai angka tersebut, artinya proses dekomposisi sudah mencapai sudah mencapai tingkat akhir atau kompos sudah matang.

2.7.2.      Suhu Pengomposan
Faktor suhu sangat berpengaruh terdapat proses pengomposan karena berhubungan dengan jenis mikroorganisme yang terlibat. Suhu maksimum bagi pengomposan adalah 40-60 ºC dengan suhu optimum 75 ºC.  Jika suhu pengomposan mencapai 40 ºC, aktivitas mikroorganisme mesofil akan digantikan oleh mikroorganisme termofil. Jika suhu mencapai 60 ºC, fungi akan berhenti bekerja dan proses perombakan dilanjutkan oleh aktinomisetes serta strain bakteri pembentuk spora (spore farming bacteria).
Jika diminati dan hasilnya dituangkan ke dalam bentuk grafik akan menghasilkan kurva berbentuk parabola. Bentuk ini menunjukan adanya peningkatan suhu pada awal proses pengomposan hingga suatu waktu akan mencapai suhu tertinggi. Peningkatan suhu yang terjadi pada awal pengomposan ini disebabkan oleh panas yang dihasilkan dari proses perombakan bahan organik oleh mikroorganisme. Pada tahap ini, mikroorganisme memperbanyak diri secara cepat. Setelah itu, suhu pengomposan akan turun kembali hingga mencapai suhu kamar (25 ºC) yang menandakan kompos sudah matang.
Temperatur di bagian tengah tumpukan bahan kompos bisa mencapai 55-70 ºC. Suhu yang tinggi merupakan keadaan yang baik untuk menghasilkan kompos yang steril karena selama suhu pengomposan lebih dari 60 ºC (dipertahankan selama tiga hari) mikroorganisme pathogen, parasit, dan benih gulma akan mati.

2.7.3.      Tingkat Keasaman (pH)
Salah satu faktor kritis bagi pertumbuhan mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan adalah tingkat keasaman (pH). Karena itu, pengaturan pH selama proses pengomposan perlu dilakukan. Pada awal pengomposan, reaksi cenderung agak asam karena bahan organik yang dirombak menghasilkan asam-asam organik sederhana. Namun, akan mulai naik sejalan dengan waktu pengomposan dan akhirnya akan stabil pada pH sekitar netral.
Jika bahan yang dikomposkan terlalu asam, pH dapat dinaikkan dengan cara menambahkan kapur. Sebaliknya, jika nilai pH tinggi (basa) bisa diturunkan dengan menambahkan bahan yang bereaksi asam (mengandung nitrogen) seperti urea atau kotoran hewan.

2.7.4.      Jenis Mikroorganisme yang Terlibat
Berdasarkan suhu yang sesuai untuk metabolisme dan pertumbuhannya, mikroorganisme diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu psiklorofil, mesofil, dan termofil. Mikroorganisme psiklorofil hidup pada suhu kurang dari 20 ºC. Mikroorganisme mesofil dapat hidup pada suhu 25-40 ºC, sedangkan mikroorganisme termofil hidup pada suhu di atas 65 ºC. Namun, yang terlibat dalam proses pengomposan adalah mikroorganisme mesofil dan termofil.
Pada awal dekomposisi, mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan adalah jenis mesofil (suhu pengomposan masih di bawah 45 ºC). Beberapa hari setelah terfermentasi, suhu pengomposan meningkat sehingga peran mikroorganisme mesofil digantikan oleh mikroorganisme termofil. Setelah suhu pengomposan turun lagi, mikroorganisme mesofil akan aktif kembali.
Proses pengomposan bisa dipercepat dengan menambahkan starter atau aktivator yang kandungan bahannya berupa mikroorganisme (kultur bakteri), enzim, dan asam humat. Mikroorganisme yang ada dalam aktivator ini akan merangsang aktivitas mikroorganisme yang ada dalam bahan kompos sehingga cepat berkembang. Akibatnya, mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan semakin banyak dan proses dekomposisi akan semakin cepat.

2.7.5.      Aerasi
Aerasi yang baik sangat dibutuhkan agar proses dekomposisi (pengomposan) bahan organik berjalan lancer. Aerasi (pengaturan udara) yang baik ke semua bagian tumpukan bahan kompos sangat penting untuk menyediakan oksigen bagi mikroorganisme dan membebaskan CO2 yang dihasilkan. Karbondioksida yang dihasilkan harus dibuang agar tidak menimbulkan zat beracun yang merugikan mikroorganisme sehingga bisa menghambat aktivitasnya.
Dalam praktiknya, pengaturan aerasi dilakukan dengan cara membalikan tumpukan bahan kompos secara teratur. Selain itu, bisa juga dengan pergerakan udara secara alami ke dalam tumpukan kompos melalui saluran-saluran aerasi yang dibuat dari batang bambu.

2.7.6.      Kelembapan (RH)
Kelembapan berperan penting dalam proses dekomposisi bahan baku kompos karena berhubungan dengan aktivitas mikroorganisme. Kelembapan optimum untuk proses pengomposan aerobik sekitar 50-60 % setelah bahan organik dicampur.
Kelembapan campuran bahan kompos yang rendah (kekurangan air) akan menghambat proses pengomposan dan akan menguapkan nitrogen  ke udara. Namun, jika kelembapan tinggi (kelebihan air) proses pertukaran udara dalam campuran bahan kompos akan terganggu. Pori-pori udara yang ada dalam tumpukan bahan kompos akan di isi air dan cenderung menimbulkan kondisi anaerobik.
Penambahan air yang berlebihan ke campuran bahan bahan baku kompos bisa diatasi dengan cara menambahkan tanah sebanyak 5-10%. Selain itu, bisa juga menambahkan bahan kering hingga mencapai kelembapan yang optimum. Selama proses pengomposan berlangsung, kelembapan dalam tumpukan bahan kompos harus terus dikontrol. Kelembapan dalam tumpukan bahan kompos bisa diketahui dengan cara menancapkan tongkat bambu ke dalamnya, lalu angkat lagi. Jika tongkat kering, berarti kelembapan rendah sehingga perlu ditambahkan air. 

2.7.7.      Struktur Bahan Baku
Laju dekomposisi bahan organik juga tergantung dari sifat bahan yang akan dikomposkan. Sifat bahan tanaman tersebut di antaranya jenis tanaman, umur, dan komposisi kimia tanaman. Semakin muda umur tanaman, proses dekomposisi akan berlangsung lebih cepat. Hal ini disebabkan kadar airnya masih tinggi, kadar nitrogen tinggi, imbangan C/N yang sempit, serta kandungan lignin yang rendah.

2.7.8.      Ukuran Bahan Baku
Ukuran bahan baku kompos akan mempengaruhi kecepatan proses pengomposan. Semakin kecil ukuran bahan (5-10 cm), proses pengomposan (dekomposisi) berlangsung semakin cepat. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan luas permukaan bahan untuk “diserang” mikroorganisme.
Ukuran bahan baku yang kurang dari 5 cm akan mengurangi pergerakan udara yang masuk ke dalam timbunan dan pergerakan CO2 yang keluar. Sebaliknya, ukuran bahan yang terlalu besar menyebabkan luas permukaan yang “diserang” akan menurun sehingga proses dekomposisi berlangsung lambat, bahkan bisa terhenti sama sekali.

2.7.9.      Pengadukan (Homogenisasi)
Faktor lain yang berpengruh terhadap proses pengomposan adalah pengadukan. Bahan baku kompos terdiri dari campuran berbagai bahan organik yang memiliki sifat terdekomposisi berbeda (ada yang mudah dan sukar terdekomposisi). Apabila campuran bahan ini tidak diaduk, maka proses dekomposisi tidak berjalan secara merata. Akibatnya, kompos yang dihasilkan kurang bagus.
Karena itu, sebelum dan selama proses pengomposan, campuran bahan baku kompos harus diaduk sehingga mikroba perombak bahan organik bisa menyebar secara merata. Dengan demikian, kinerja mikroba perombak bahan organik bisa lebih efektif. Pengadukan sebaiknya dilakukan seminggu sekali.

2.8.       Kontrol Proses Produksi Kompos
Perkembangan proses dekomposisi yang kurang baik pada umumnya disebabkan oleh kandungan lengas tidak sesuai dan atau campuran bahan yang kurang sesuai. Selama proses dekomposisi berlangsung harus dilakukan monitoring terhadap kelembapan dan suhu dengan tujuan mengidentifikasi dan memperbaiki kesalahan pada tahap awal dekomposisi. Alasan dilakukannya monitoring diantaranya adalah:
2.8.1.      Proses pengomposan membutuhkan pengendalian agar memperoleh hasil yang baik.
2.8.2.      Kondisi ideal bagi proses pengomposan berupa keadaan lingkungan atau habitat dimana jasad renik (mikroorganisme) dapat hidup dan berkembang biak dengan optimal.
2.8.3.      Jasad renik membutuhkan air, udara (O2), dan makanan berupa bahan organik dari sampah untuk menghasilkan energi dan tumbuh.
Pada Tabel 4. disajikan daftar permasalahan yang mungkin timbul selama proses pengomposan, identifikasi penyebab, dan cara memperbaikinya.





Tabel 4.  Diagnosis permasalahan, penyebab, dan cara menanggulanginya
No.
Permasalahan
Penyebab
Cara Menanggulangi
1.
Bahan baku terlalu kering, proses dekomposisi berhenti
-  Kelembapan turun di bawah batas ambang yang dibutuhkan mikroba karena suhu meningkat
-  Bahan dasar kompos terlalu kering
-  Kompos dibalik secara berkala
-  Menambah bahan kompos segar
-  Menutupi timbunan kompos untuk mengurangi penguapan
2.
Bahan baku terlalu basah, warna kehitaman, kekurangan oksigen
-  Curah hujan terlalu tinggi
-  Bahan campuran mengandung air tinggi, namun kandungan nitrogen rendah
-  Kompos dibalik secara berkala, bagian dasar diberi alas kering berupa potongan kayu atau ranting
-  Menambah tanah, batuanyang dihaluskan atau kapur

3.
Dekomposisi berjalan lambat
-  Prosentase kandungan lignin terlalu tinggi sehingga rasio C/N tinggi
-  Terlalu kering
-  Kompos dibalik secara berkala
-  Menambah bahan yang kaya nitrogen (kotoran ternak, limbah dapur/rumah tangga)
4.
Bau busuk
-  Tergenang
-  Kekurangan oksigen
-  Prosentase bahan yang mengandung nitrogen terlalu tinggi
-  Kekurangan bahan yang ruah
-  Bahan memadat
-  Kompos dibalik secara berkala
-  Menambah bahan yang ruah
5.
Kompos mengandung benih gulma
-  Selama proses dekomposisi suhu terlalu rendah
-  Kelembapan dan aerasi diatur
-  Bahan yang mengandung biji gulma diletakkan di bagian tengah timbunan agar mencapai peningkatan suhu yang tinggi
6.
Kompos diserang kecoa
-  Tersisa makanan dan hewan di sekitar timbunan dan tidak cukup
-  Menempatkan bahan limbah dapur di bagian tengah timbunan kemudian ditutup.
Sumber: Diolah dari sutanto (2002)




2.9.       Standar Kualitas Kompos
2.9.1.      Menentukan Kematangan Kompos
Kompos dikatakan bagus dan siap diaplikasikan jika tingkat kematangannya sempurna. Kompos yang matang bisa dikenali dengan memperhatikan keadaan bentuk fisiknya, sebagai berikut.
a.    Jika diraba, suhu tumpukan bahan yang dikomposkan sudah dingin, mendekati suhu ruang.
b.    Tidak mengeluarkan bau lagi.
c.    Bentuk fisiknya sudah menyerupai tanah yang berwarna hitam.
d.   Jika dilarutkan ke dalam air, kompos yang sudah matang tidak akan larut.
e.    Strukturnya remah, tidak menggumpal.

2.9.2.      Kualitas Kompos
Kualitas kompos biasanya diidentikan dengan kandungan unsur  hara yang ada di dalamnya (pada tabel 5). Kualitas kompos sangat vegetatif, tergantung dari bahan baku atau proses pengomposan. Unsur hara dalam kompos terbilang lengkap (mengandung unsur hara makro dan mikro), tetapi kadarnya kecil sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan tanaman. Karena itu, kualitas kompos akan lebih baik jika mutunya ditingkatkan, terutama kandungan unsur hara makro.
Tabe 5. Kandungan unsur hara dalam kompos
No.
Unsur Hara
Jumlah
1.
Nitrogen (N)
1,33 %
2.
Fosfor (P2O5)
0,85 %
3.
Kalium (K2O)
0,36 %
4.
Kalsium (Ca)
5,61 %
5.
Zat Besi (Fe)
2,1 %
6.
Seng (Zn)
285 ppm
7.
Timah (Sn)
575 ppm
8.
Tembaga (Cu)
65 ppm
9.
Kadmium (Cd)
5 ppm
10.
Humus
53,7 %
11.
pH
7,2
Sumber: Nan Djuarni, Kristian dan Budi, 2005
Sampai saat ini, di Indonesia belum ada standar kualitas kompos yang dikeluarkan secara resmi (Standar Nasional Indonesia; SNI). Akibatnya, tidak ada pedoman yang dipakai secara seragam. Berikut standar kualitas kompos yang bisa dipakai acuan (tabel 6,) sebagai berikut.
Tabel 6. Standar kualitas Asosiasi Bark kompos Jepang
No.
Parameter
Jumlah
1.
Bahan Organik
> 70 %
2.
N-total
> 1,2 %
3.
C/N rasio
< 35 %
4.
P2O5
> 0,5 %
5.
K2O
> 0,3 %
6.
pH
5,5-7,5
7.
KTK
> 70 meq/100 g
8.
Kelembapan
60 %
Sumber: Harada et.al., 1993

2.9.3.      Meningkatkan Unsur Hara dalam Kompos
Meningkatkan kualitas kompos relatif mudah dilakukan, yaitu dengan cara menambahkan bahan peningkat kualitas dengan komposisi tertentu. Jenis bahan peningkat kualitas yang akan ditambahkan disesuaikan dengan unsur hara yang kadarnya ingin dinaikkan atau atas permintaan konsumen.
Bahan yang bisa digunakan untuk meningkatkan kulitas kompos adalah tepung darah, tepung tulang, tepung kerabang, dan urine ternak. Tepung darah digunakan untuk meningkatkan unsur nitrogen (N) dan fosfor dalam kompos. Jumlah yang bisa ditambahkan ke dalam kompos adalah 1 %. Artinya, untuk 100 kg kompos dibutuhkan tepung darah sebanyak 1 kg. Mencampurkan tepung darah dengan kompos bisa dilakukan secara manual (jumlah kecil), yaitu megaduknya menggunakan cangkul atau sekop hingga semua bahan tercampur rata.
Sementara itu, tepung tulang digunakan untuk meningkatkan unsur hara kalsium (Ca) dan fosfor (P). Tepung tulang dapat ditambahkan ke dalam kompos sebanyak 2-3 % atau 2-3 kg untuk setiap 100 kg kompos. Meningkatkan unsur hara kalsium dalam kompos bisa juga diperoleh dari tepung kerabang telur. Tepung kerabang ditambahkan sebanyak 1 % atau 1 kg untuk setiap 100 kg kompos. Jika jumlah komposnya sedikit, pencampuran tepung tulang bisa dilakukan secara manual. Namun, jika jumlahnya banyak perlu menggunakan mesin pencampur (mollen) agar lebih efisien.
Kandungan kalium (K) dalam kompos juga bisa ditingkatkan mutunya dengan cara menambahkan abu dapur hasil pembakaran sekam padi atau serbuk gergaji sebanyak 3 % atau 3 kg per 100 kg kompos. Pencampurannya bisa dilakukan secara manual (jumlah kecil) dan menggunakan mesin (jumlah besar).  



















 BAB III
METODOLOGI

3.1.  Tempat dan Waktu
       Pelaksanaan Tugas Akhir dilakukan di PPPPTK Pertanian Cianjur Departemen Agribisnis Peternakan dimulai pada tanggal 23 Februari sampai dengan tanggal 15 April 2012.

3.2.  Alat dan Bahan
3.2.1.      Alat
Alat yang digunakan untuk proses pembuatan kompos adalah: sekop, cangkul, garu, sepatu boot, termometer, timbangan, ember, saringan dan karung.
3.2.2.      Bahan
Bahan-bahan yang dibuat kompos antara lain:
a.     Limbah Peternakan (Feses sapi)
Kotoran sapi dihasilkan dari kandang sapi yang berasal dari Departemen Agribisnis Peternakan PPPPTK Pertanian Cianjur.
b.    Aktivator Dekomposer
Activator decomposer pembuatan pupuk kompos menggunakan stardec yang berupa kumpulan koloni mikrobia yang dimanfaatkan sebagai pengurai bahan baku dalam mempercepat pengomposan.
c.    Bahan Tambahan
·      Bahan Organik
Bahan organik berasal dari hijauan alang-alang yang ada di sekitar kandang, bahan ini berfungsi untuk meningkatkan unsur hara N yang terkandung dalam pupuk kompos.
·      Serbuk Gergaji
23
Bahan ini digunakan sebagai alas kandang yang berfungsi untuk menghangatkan sapi, selain itu bahan ini dapat menyerap urine yang dihasilkan oleh sapi dan penambah unsur N.
·      Abu Organik
Abu organik berasal dari hasil pembakaran sekam padi. Fungsi abu dalam proses dekomposisi adalah sebagai pensuplai unsur Kalium (K), sebagai buffer pH selama proses dekomposisi, serta memperbaiki aerasi.
·      Kalsit
Fungsi kalsit ini dalam proses dekomposisi bahan organik adalah  untuk membuffer pH sehingga proses dekomposisi dapat berjalan dengan cepat.

3.3.  Rancangan/Strategi Pelaksanaan
       Rancangan yang digunakan dalam pembuatan kompos berbahan dasar pupuk kandang adalah dengan metoda eksperimen yaitu suatu penelitian yang berusaha mencari pengaruh variable tertentu terhadap variable yang lain dalam kondisi yang terkontrol secara ketat. Bentuk metode eksperimen yang diambil adalah true experimental. Strategi pelaksanaan menggunkan strategi komparatif dengan membandingkan hasil dari pengamatan pembuatan kompos dengan tiga perlakuan, yaitu pemberian jumlah aktivator stardec yang berbeda pada masing-masing bahan P1 (0,15 %), P2 (0,25 %), P3 (0,35 %). Sedangkan dalam teknik pengambilan sample menggunakan teknik probability yaitu teknik pengambilan sample dengan memberi peluang yang sama bagi setiap unsur dari populasi untuk dipilih menjadi sample. Kegiatan tugas akhir dilaksanakan dengan beberapa tahap, yaitu:
3.3.1.      Persiapan Alat dan Bahan
Kegiatan diawali dengan mempersiapkan tempat kegiatan produksi yang terlindung dari matahari langsung dan hujan, selain itu tidak lupa alat lain yang diperlukan. Bahan yang akan digunakan berupa kotoran sapi beserta urine yang di campur bahan tambahan lain.
a.    Mempersiapkan tenaga kerja
b.    Mempersiapkan tempat pembuatan kompos
c.    Mempersiapkan alat seperti: timbangan, cangkul, sekop, karung, ember dan peralatan K3.
d.   Menimbang bahan baku menjadi tiga perlakuan dengan jumlah bobot masing-masing sebanyak 700 kg.
e.    Mempersiapkan dan menimbang aktivator serta bahan tambahan yang akan digunakan seperti: stradec, abu sekam, serbuk gergaji, dan kalsit.
3.3.2.      Pelaksanaan
Kegiatan dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu:
a.    Penyiraman bahan baku untuk mencapai kadar air 60 %.
b.    Mempersiapkan bahan tambahan dan mencampur dengan bahan baku feses sampai homogen. Setelah itu diberikan aktivator stardec dengan jumlah berbeda pada masing-masing bahan baku, antara lain: (1) 0.15 % (1.19 kg), (2) 0.25 % (1.99 kg) dan (3) 0.35%  (2.80 kg).
c.    Untuk mencapai panas yang optimal, ketinggian campuran bahan baku harus mencapai 1-1.5 meter. Ketinggian satu meter bisa mencapai 40-60 ºC, sedangkan lebih dari satu meter bisa mencapai 60-75 ºC.
d.   Timbunan bahan baku didiamkan selama 30-40 hari hingga matang
e.    Melakukan pengontrolan
·      Monitoring temperatur tumpukan
·      Monitoring kelembapan
·      Monitoring oksigen
·      Monitoring kecukupan C/N rasio
·      Monitoring volume
f.     Selama proses pembuatan kompos dibalik setiap minggu dan dilakukan pengamatan yang terdiri dari empat parameter organoleptik (warna, aroma, tekstur dan temperatur).


3.3.3.       Tahap Akhir
Kegiatan yang dilakukan pada tahap akhir ini meliputi:
a.    Analisis data pengamatan
b.    Menarik kesimpulan
c.    Membuat laporan Tugas Akhir

3.4.  Parameter Pengamatan dan Teknik Pengumpulan Data
3.4.1.      Parameter Pengamatan
            Parameter pengamatan ditinjau dari hasil dan proses pembuatan kompos yang membuat tiga perlakuan bahan sehingga mendapatkan perbandingan baik dari kualitas fisik dan efektifitas jumlah bahan yang digunakan. Parameter tersebut meliputi:
a.    Warna
Pengamatan warna dengan melihat langsung perubahan proses pengomposan selama dekomposisi berlangsung setiap pembalikan.
b.    Aroma
Parameter ini dilakukan dengan cara mengambil sampel dan mencium kompos dengan membedakan aroma yang dihasilkan selama proses dekomposisi setiap pembalikan bahan. Biasanya pada awal proses pembuatan masih tercium bau amoniak yang menyengat.
c.    Tekstur
Dilakukan dengan mengambil sampel bahan dan membedakan tektur/keremahan bahan selama proses dekomposisi berlangsung. Perlakuan ini dilakukan disaat pembalikan kompos dengan membedakan keremahan setiap minggunya.
d.   Temperatur
Pengamatan temperatur dengan cara memasukan thermometer kedalam tumpukan kompos. Hal ini dilakukan sebelum pembalikan pertama sampai akhir untuk mengetahui suhu yang dihasilkan.


3.4.2.      Teknik Pengumpulan Data
            Pengumpulan data diambil selama proses produksi berlangsung, meliputi:
a.    Analisis data dari hasil pengamatan selama proses produksi, data tersebut berasal dari jurnal dan catatan harian produksi kompos.
b.    Studi Pustaka
c.    Wawancara

3.5.  Jadwal Pelaksanaan
Tabel 7. Jadwal pelaksanaan tugas akhir
No.
Kegiatan
Januari
2012
Pebruari
2012
Maret 2012
Aril     2012
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1.
Pembekalan tugas akhir
















2.
Penyusunan proposal tugas akhir
















3.
Pelaksanaan tugas akhir
















4.
Penyusunan laporan TA
















5.
Penyelesaian laporan
















6.
Persiapan seminar tugas
















7.
Seminar hasil tugas akhir
















8.
Perbaikan dan finishing laporan
















9.
Penyerahan laporan tugas akhir
















10.
Konsultasi/ bimbingan tugas akhir



















BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.  Hasil Kegiatan
Aplikasi penggunaan stardec dalam proses pembuatan kompos ternak ruminansia adalah sebagai berikut:
4.1.1.      Alur Proses Pembuatan Pupuk Kompos:

Monitoring

Persiapan Alat dan Bahan
Penimbangan
Penumpukan Bahan
Pencampuran Bahan Baku
Penirisan
Penyiraman
Pembalikan I
Pembalikan IV
Pembalikan V
Pendinginan
Pembalikan III
Pembalikan II
Penyaringan
 













4.1.2.      Proses Pembuatan Pupuk Kompos
1)        Persiapan Bahan dan Peralatan
a.    Bahan
Bahan baku untuk pembuatan kompos terdiri dari:
·      Limbah Peternakan (Feses sapi)
Kotoran sapi (gambar 1) yang digunakan sebesar 87.50 % dari keseluruhan bahan baku. Penggunaan kotoran sapi sebagai bahan baku disebabkan karena bahan ini sangat melimpah serta kandungan nutrientnya beragam dan cukup tinggi.
Gambar 1. Kotoran Sapi

·      Aktivator Dekomposer
Stardec yang digunakan sebesar 0.22 % dari jumlah keseluruhan bahan. Penggunaan stardec karena memiliki kegunaan dalam mempercepat proses dekomposisi.
 







    Gambar 2. Aktivator Stardec

·      Bahan Tambahan
·      Bahan Organik
Bahan organik berasal dari alang-alang berjenis legume dan graminae yang ada di sekitar kandang, bahan ini berfungsi untuk meningkatkan unsur hara N yang terkandung dalam pupuk kompos. Penggunaan bahan organik  2.62 % dari jumlah keseluruhan bahan baku.
 







                          Gambar 3. Bahan Organik

·      Serbuk Gergaji
Serbuk gergaji digunakan sebagai penambah mutu kompos yang mengandung unsur hara K. Penggunaan serbuk gergaji 4.38 % dari jumlah keseluruhan bahan baku.






 
        Gambar 4. Serbuk Gergaji

·      Abu Organik
Abu organik berasal dari hasil pembakaran sekam padi (pada gambar 5). Menurut Suharto 2009., Fungsi abu dalam proses dekomposisi adalah sebagai pensuplai unsur Kalium (K), sebagai buffer pH selama proses dekomposisi, serta memperbaiki aerasi. Bahan yang dugunakan sebanyak 2.62 % dari jumlah keseluruhan bahan baku.
 



          Gambar 5. Abu Organik (Sekam Bakar)

·      Kalsit/Kapur
Menurut Suharto 2009., Fungsi kalsit ini dalam proses dekomposisi bahan organik adalah  untuk membuffer pH sehingga proses dekomposisi dapat berjalan dengan cepat. Penggunaan kalsit pada pembuatan kompos sebesar 2.62 % dari jumlah keseluruhan bahan baku.

       Gambar 6. Kalsit/Kapur
b.   Peralatan
Ada beberapa peralatan yang dibutuhkan untuk pembutan pupuk kompos diantaranya: sekop/cangkul, saringan/ayakan, termometer, timbangan, sepatu boot, sarung tangan dan masker.



2)        Penimbangan
Bahan yang sudah disiapkan ditimbang terlebih dahulu untuk menyesuaikan dengan standar formulasi yang sudah ditentukan.  Persentase penggunaan bahan tambahan disesuaikan dengan kebutuhan bahan baku kotoran sapi  agar dalam proses dekomposisi sesuai dengan apa yang diharapkan.







      Gambar 7. Proses Penimbangan
Adapun kebutuhan masing-masing bahan dalam pembuatan kompos ternak ruminansia pada tabel berikut:
Tabel 8. Kebutuhan Bahan Pembuatan Pupuk Kompos
No.
Bahan
PERLAKUAN
Jumlah Keseluruhan
P1
P2
P3
Kg
%
Kg
%
Kg
%
Kg
%
1.
Kotoran Ternak
700
87.58
700
87.50
700
87.41
2100
87.50
2.
Stardec
1.19
0.15
1.99
0.25
2.80
0.35
5.98
0.25
3.
Bahan Organik
21
2.62
21
2.62
21
2.62
63
2.62
4.
Serbuk Gergaji
35
4.38
35
4.38
35
4.38
105
4.38
5.
Abu Organik
21
2.62
21
2.62
21
2.62
63
2.62
6.
Kalsit/
Kapur
21
2.62
21
2.62
21
2.62
63
2.62

Jumlah
799.19

799.99

800.80

2399.98


Persentase

99.97

99.99

100

99.99

Penggunaan bahan yang dicantumkan dalam tabel 9. dimaksudkan untuk menambah kadar unsur hara makro yang tekandung dalam kompos seperti N, P dan K. Bahan-bahan tersebut mempunyai kandungan unsur hara yang berbeda, seperti:
·      Kotoran Ternak
Kotoran yang digunakan untuk pembuatan kompos sebanyak 2100 kg, kemudian bahan ini dibagi menjadi tiga tumpukan dengan diameter tinggi 1 m dan panjang 2 meter membentuk bedengan. Masing-masing tumpukan berjumlah 700 kg.
·      Aktivator Dekomposer
Penggunaan stardec menyesuaikan dengan pengggunaan bahan baku kotoran ternak dengan persentase penggunaan 0,22 % (5.98 kg) dari keseluruhan bahan. Penggunaan aktivator diberikan dengan persentase yang berbeda pada masing-masing tumpukan, tujuannya adalah agar dalam proses dekomposisi bisa dilihat pengaruh yang terjadi pada ketiga bahan tersebut. Penggunaan stardec untuk masing-masing bahan antara lain: (a) P1 1.19 kg, (b) P2 1.99 kg, dan (c) P3 2..80 kg.
·      Bahan Organik
Penggunaan bahan organik berupa hijauan legume dan graminae berasal dari sisa pakan yang terbuang, maupun pemanfaatan alang-alang disekitar kandang. Persentase penggunaan bahan organik sebesar 2.62 % (21 kg) dikali tiga perlakuan kompos. Jumlah keseluruhan pemakaian abu sekam mencapai 63 kg.
·      Serbuk Gergaji
Penggunaan serbuk gergaji sebesar 4.38 % (35 kg) untuk masing-masing perlakuan pembuatan pupuk kompos. Penggunaan keseluruhan mencapai 105 kg. Menurut Suharto 2009., tujuan penambahan serbuk gergaji ini adalah untuk memperbaiki aerasi bahan organik yang akan didekomposisi. Penambahan serbuk gergaji juga dimaksudkan untuk menambahkan lignin dan sellulosa sehingga akan meningkatkan kualitas kompos yang dihasilkan tercermin dari tingginya nilai tukar kation (KTK).
·      Abu Organik
Penggunaan abu organik berupa sisa pembakaran sekam padi, persentase penggunaan abu 2.62 % (21 kg) untuk masing-masing perlakuan. Jumlah keseluruhan pemakaian abu sekam mencapai 63 kg. Menurut Suharto 2009., Fungsi abu dalam proses dekomposisi adalah sebagai pensuplai unsur Kalium (K), sebagai buffer (penyangga/penahan) pH selama proses dekomposisi, serta memperbaiki aerasi. Sehigga proses dekomposisi berjalan dengan baik.
·      Kalsit/kapur
Penggunaan kalsit pada pembuatan kompos sebesar 2.62 % atau 21 kg untuk masing-masing perlakuan. Jumlah penggunaan keseluruhan sebanyak 63 kg. Sama halnya dengan abu organik, fungsi dari kapur sebagai buffer pH dari bahan baku yang akan dikomposkan. Hal ini karena mikrobia yang ada didalam stardec membutuhkan pH yang netral sehingga dapat mempercepat proses dekomposisi.

3)        Penumpukan
Setelah proses penimbangan, bahan-bahan yang sudah disiapkan di bagi menjadi tiga tumpukan (P1, P2 dan P3). Proses awal yang dilakukan adalah dengan menyiapkan bahan baku kotoran. Masing-masing tumpukan memiliki diameter tinggi 1 meter dan panjang 2 meter memanjang dan segitiga membentuk bedengan. Hal ini bertujuan untk mencapai temperatur tumpukan yang maksimum yaitu 40-60 ºC. Setelah itu, bahan yang sudah dipisahkan ditaburi hijauan yang sudah dicacah dengan jumlah yang sudah ditentukan. Pencacahan beretujuan untuk memperluas permukaan bahan agar mempermudah mikroba dekomposer beraktivitas sehingga bahan baku cepat terurai. Pada saat proses penirisan bahan baku kotoran, penaburan hijauan didahulukan karena bertujuan untuk pelayuan agar mudah dalam proses pengadukan.
 






 Gambar 8. Tiga Tumpukan Bahan Kompos
4)        Penyiraman
Sebelum dilakukan pencampuran bahan baku disiram terlebih dahulu, baik menggunakan air maupun urine sapi. Hal ini dilakukan karena untuk memenuhi standar dan keberhasilan proses dekomposisi sebaiknya kadar air yang dikandung bahan baku sebesar 60 %.

5)        Penirisan
Penirisan bertujuan untuk homogenitas air yang terkandung dalam bahan baku, sehingga air yang baru disiramkan merata sampai ke dasar tumpukan bahan.

6)        Pencampuran Bahan Baku
Pencampuran bahan (pada gambar 9 dan 10) dilakukan dengan menaburkan bahan tambahan terlebih dahulu seperti hijauan, serbuk gergaji, kapur dan abu sekam, setelah itu ditaburkan stardec pada masing-masing perlakuan. Penaburan dilakukan sedikit demi sedikit agar bahan tambahan tercampur dengan baik/ homogen.


 







      Gambar 9. Proses Pencampuran Bahan
 
    Gambar 10. Finishing Proses Pencampuran


7)        Monitoring
Pengontrolan dilakukan selama proses dekomposisi berlangsung yaitu setiap satu minggu sekali dengan melihat perubahan yang ditimbulkan. Pada proses dekomposisi, perubahan yang dihasilkan bisa dilihat pada waktu pembalikan berlangsung, yaitu suhu panas yang ditimbulkan bahan baku yang terdekomposisi, tekstur, aroma dan warna.

8)        Pembalikan
Pembalikan dilakukan untuk membuang panas yang berlebihan, memasukkan udara segar ke dalam tumpukan bahan, meratakan proses pelapukan di setiap bagian tumpukan, meratakan pemberian air (60 % kadara air bahan), serta membantu penghancuran bahan menjadi partikel kecil-kecil. (Sumber: Wikipedia.org)
Pembalikan dilakukan setelah analisa perubahan ke tiga tumpukan bahan, hal ini ditinjau dari pengujian organoleptik seperti: temperatur, warna, aroma, dan tekstur bahan. Pengontrolan bertujuan untuk melihat pengaruh perubahan ketiga perlakuan bahan dari hasil proporsi pemberian aktivator stardec pada masing-masing bahan. Sewaktu proses pembalikan, semakin lama proses dekomposisi, semakin terlihat perubahan yang di timbulkan menuju kematangan kompos.

9)        Pendinginan
Setelah proses pengomposan berjalan selama 30-40 hari suhu tumpukan akan semakin menurun. Pada saat itu bahan kompos akan lapuk dan terlihat berwarna coklat tua serta tidak menimbulkan bau amoniak. Proses pendinginan berjalan selama 15 hari sampai kompos terasa dingin mencapai suhu ruangan yaitu 25 ºC.

10)    Penyaringan
Penyaringan dilakukan setelah proses pendinginan selesai sampai kompos benar-benar matang. Penyaringan bertujuan untuk menyelaraskan ukuruan partikel kompos serta memisahkan bahan-bahan yang tidak diharapkan seperti plastik atau benda yang tidak terdekomposisi.

4.2.  Pembahasan
Aplikasi penggunaan stardec pada proses pembuatan kompos berbahan dasar kotoran ternak ruminansia dapat dikatakan singkat. Menurut Suhut dan Salundik 2006., aktivator adalah mikrobia yang bisa merangsang mikroorganisme yang ada di dalam bahan kompos berkembang. Akibatnya mikroorganisme yang terlibat semakin banyak maka proses dekomposisi akan semakin cepat. Dari keterangan tersebut dan hasil perbandingan pada analisis selama pembuatan kompos menggunakan bahan dasar kotoran ternak ruminansia. Perubahan yang ditimbulkan sangat sesuai dengan teori yang diutarakan, terbukti dengan adanya hasil yang didapatkan. Aplikasi pemberian stardec dengan jumlah yang berbeda pada tiga tumpukan bahan dasar kompos serta beberapa bahan tambahan dengan proporsi yang sama dapat diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 9. Hasil Uji Organoleptik
Minggu
Warna
Aroma
Tekstur
Temperatur
P1
P2
P3
P1
P2
P3
P1
P2
P3
P1
P2
P3
P.Awal
wh
wh
wh
asm
asm
asm
tl
tl
tl
-
-
-
1.
wh
whk
whk
asm
asm
asm
tl
tsr
tsr
30
39
34
2.
whk
whk
whk
am
am
am
tl
tsr
tsr
40
40
42
3.
whk
wc
wc
ab
ab
ab
tl
tsr
tsr
43
44
47
4.
whk
wc
wc
atb
atb
atb
tsr
tr
tr
55
55
58
5.
whk
wc
wc
atb
atb
atb
tr
tr
tr
41
42
42

Keterangan tabel 9. Hasil Uji Organoleptik:
Kriteria di bagi menjadi tiga jenis dengan simbol inisial huruf  yang digunakan sebagai parameter.
1.    Warna
a.    Hitam (WH)
b.    Coklat (WC)
c.    Hitam Kecoklatan (WHK)
2.    Aroma
a.    Berbau (AB)
b.    Tidak Berbau (ATB)
c.    Menyengat (AM)
d.   Sangat Menyengat (ASM)

3.    Tekstur
a.    Lembek (TL)
b.    Sedikit Remah (TSR)
c.    Remah (TR)
4.    Temperatur
Suhu dilihat dari angka yang ditunjukan alat thermometer pada tiga bahan perlakuan dengan satuan ºC. Pengecekan suhu dilakukan setiap minggu sebelum pembalikan.


4.2.1.      Perlakuan 1 (penggunaan stardec 0,15 %/ 1,19 kg)
Tabel 10. Hasil Anilisis Organoleptik Perlakuan 1
Minggu
Warna
Aroma
Tekstur
Temperatur
1.
wh
asm
tl
30
2.
whk
am
tl
40
3.
whk
ab
tl
43
4.
whk
atb
tsr
55
5.
whk
atb
tr
41

Berikut akan dijelaskan keterangan perkembangan proses dekomposisi pada perlakuan satu di setiap minggunya:
a.    Warna
Warna yang dihasilkan pada perlakuan satu di minggu pertama masih seperti saat penumpukan dan setelah pencampuran bahan yaitu berwarna hitam. lalu pada minggu kedua mengalami perubahan menjadi warna hitam kecoklatan. Sedangkan untuk minggu ketiga  sampai minggu kelima warna yang dihasilkan tidak ada perubahan karena menunjukan hasil yang sama dengan minggu kedua.
b.    Aroma
Aroma yang dihasilkan pada minggu pertama masih seperti saat awal penumpukan yang menimbulkan bau yang sangat menyengat. Setelah minggu kedua kadar bau amoniak yang ditimbulkan menyengat. Lalu pada minggu ketiga aroma bahan baku mengalami perubahan dengan ditandai berkurangnya bau yang dihasilkan. Sedangkan hilangnya bau amoniak dari bahan baku ditunjukan pada minggu keempat dan kelima.
c.    Tekstur
Tekstur yang dihasilkan dari minggu pertama sampai minggu ketiga masih sama sewaktu proses penumpukan dan pencampuran dengan tidak menunjukan perubahan yang signifikan. Hal ini dilihat dengan hasil yang masih lembek. Sedangkan pada minggu keempat bahan baku sudah mengalami perubahan menjadi sedikit remah. Lalu pada minggu kelima tekstur bahan sudah terasa remah dan mendekati kematangan.
d.   Temperatur
Pada minggu pertama tumpukan kompos perlakuan satu menghasilkan suhu mencapai 30 ºC, lalu pada minggu kedua suhu bahan baku menunjukan perubahan dengan adanya peningkatan mencapai 33.3 % yaitu menjadi 40 ºC. Suhu kompos mengalami perkembangan kembali dengan kenaikan 7.5 %  menjadi 43 ºC di minggu ketiga. Sedangkan suhu tertinggi yang dihasilkan di tunjukan pada minggu keempat dengan mengalami perkembangan yang sangat signifikan mencapai 21.82 % menjadi 55 ºC. Setelah minggu kelima suhu kompos mengalami penurunan kembali dengan hasil 41 ºC, hal ini disebabkan karena bahan sudah mendekati kematangan.

4.2.2.      Perlakuan 2 (penggunaan stardec 0,25 %/ 1,99 kg)
Tabel 11. Hasil Anilisis Organoleptik Perlakuan 2
Minggu
Warna
Aroma
Tekstur
Temperatur
1.
whk
asm
tsr
39
2.
whk
am
tsr
40
3.
wc
ab
tsr
44
4.
wc
atb
tr
55
5.
wc
atb
tr
42

Berikut akan dijelaskan keterangan perkembangan proses dekomposisi pada perlakuan dua di setiap minggunya:
a.    Warna
Warna yang dihasilkan pada minggu pertama dan kedua menunjukan hasil yang signifikan, hal ini dilihat dengan perubahan dari fase berwarna hitam menjadi hitam kecoklatan dalam jangka penimbunan satu minggu. Lalu pada minggu ketiga sampai dengan minggu kelima bahan baku mengalami perkembangan kembali dengan menunjukan perubahan warna menjadi cokelat.

b.    Aroma
Aroma yang dihasilkan pada minggu pertama masih seperti saat awal penumpukan yang menimbulkan bau yang sangat menyengat. Setelah minggu kedua kadar bau amoniak yang ditimbulkan menyengat. Lalu pada minggu ketiga aroma bahan baku mengalami perubahan dengan ditandai berkurangnya bau yang dihasilkan. Sedangkan aroma yang sudah tidak berbau bau amoniak dari bahan baku ditunjukan pada minggu keempat dan kelima.
c.    Tekstur
Pada minggu pertama sampai dengan minggu ketiga tekstur sudah menunjukan perubahan dari fase lembek menjadi sedikit remah. Sedangkan tekstur bahan baku yang sudah berubah menjadi remah di tunjukan pada minggu keempat dan kelima.
d.   Temperatur
Suhu yang dihasilkan pada minggu pertama hanya mencapai 39 ºC, lalu pada minggu kedua suhu bahan baku mangalami  perkembangan. Akan tetapi hasil yang didapatkan hanya naik 1 ºC saja, menjadi 40 ºC. Suhu bahan baku mengalami kenaikan kembali pada minggu ketiga yang mencapai 10 % menjadi 44 ºC. Sedangkan suhu tertinggi dihasilkan pada minggu keempat yang mencapai 20 % menjadi 55 ºC. Pada minggu kelima temperatur bahan baku mengalami penurunan menjadi 42 ºC. Hal ini karena tumpukan bahan sudah mendekati proses pendinginan dan pematangan.







4.2.3.      Perlakuan 3 (penggunaan stardec 0,35 %/ 2,80 kg)
Tabel 12. Hasil Anilisis Organoleptik Perlakuan 3
Minggu
Warna
Aroma
Tekstur
Temperatur
1.
whk
asm
tsr
34
2.
whk
am
tsr
42
3.
wc
ab
tsr
47
4.
wc
atb
tr
58
5.
wc
atb
tr
42

Pada perlakuan yang ketiga perkembangan atau perubahan yang dihasilkan untuk tiga parameter seperti: warna, aroma dan tekstur sama persis dengan perlakuan yang kedua. Akan tetapi dari perkembangan suhu pada bahan baku perlakuan ketiga berbeda dengan perlakuan kedua. Hal ini di tunjukan dengan perkembangan suhu pada minggu pertama hanya mencapai 34 ºC berbeda dengan perlakuan kedua yang mencapai 39 ºC, suhu ini belum mencapai standar yang ditentukan. Pada minggu kedua suhu bahan baku mangalami  perkembangan mencapai 23.5 % yaitu menjadi 42 ºC. Selanjutnya suhu mengalami kenaikan kembali mencapai 11.90 % menjadi 47 ºC.  Sedangkan suhu tertinggi dari bahan baku di tunjukan pada minggu keempat dengan mengalami kenaikan mencapai 23.40 % menjadi 58 ºC. Lalu pada minggu kelima temperatur menurun menjadi 42 ºC, hal ini karena mendekati proses pendinginan dan pematangan.









 BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1.  Simpulan
5.1.1.      Pengaruh penggunaan aktivator stardec terhadap kotoran ruminansia tentunya terjadi proses dekomposisi yang menguraikan bahan tersebut menjadi kompos. Sehingga bisa digunakan sebagai bahan pembenah tanah (soil conditioner) maupun untuk mencukupi kebutuhan unsur hara bagi tanaman.
5.1.2.      Dalam prosesnya penggunaan stardec dengan melebihi batas pemakaian mencapai 0,10 %, tidak berpengaruh buruk terhadap kualitas kompos yang dihasilkan. Akan tetapi penambahan aktivator ini malah mempercepat proses dekomposisi sesuai dengan sifat mikroba yang dikandungnya. Sebaliknya dengan pengurangan penggunaan stardec bisa memperlambat proses dekomposisi yang pada akhirnya menurunkan kualitas kompos.

5.2.  Saran
5.2.1.      Sebagai mahasiswa yang berdedikasi di bidang peternakan dihimbau untuk selalu berbagi ilmu yang dimiliki dengan orang-orang disekitar. Karena hal yang di anggap kecil akan menjadi besar apabila diberikan kepada orang yang tepat dan berkemauan untuk berkembang.
5.2.2.      Kompos bisa bermanfaat bagi para peternak kecil dengan menjadikan kemandirian didalam kandang ternaknya lewat kotoran yang dihasilkan sehingga “Revolusi Hijau” bisa terlaksana.
5.2.3.      Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar data yang didapatkan lebih valid dan bisa bermanfaat bagi setiap orang.



43

 DAFTAR PUSTAKA



Sukamto H, 2008., Membuat Pupuk Kompos Cair, Jakarta: PT. AgroMedia Pustaka.
Ir. Suhut S. MS, Ir. Salundik, Msi, 2006., Meningkatkan Kualitas Kompos, Jakarta: PT. AgroMedia Pustaka.
Gaur, A. C,. 1983.. dalam Ir. Suhut S. MS, Ir. Salundik, Msi, 2006., Meningkatkan Kualitas Kompos, Jakarta: PT. AgroMedia Pustaka.
Djuarnani, Nan, Ir.MSc.,Kristian, dan Budi Susilo Setiawan, 2005., dalam Ir. Suhut S. MS, Ir. Salundik, Msi, 2006., Meningkatkan Kualitas Kompos, Jakarta: PT. AgroMedia Pustaka.
AgroMedia, 2010., Petunjuk Pemupukan, Jakarta: AgroMedia.
Balai Besar Litbang. 2006. Pupuk Organik dan Hayati.Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Deptan.Bogor-Jawa Barat.
Sutanto, R. 2002. Dalam balai besar litbang.
J.H. Crawford, 2003. Dalam balai besar litbang.
Soekirman. 2005. Dalam balai besar litbang.
Suharto et al., 2009.Pupuk Organik Fone Compost.PT.LHM Research Station. Solo – Jawa Tengah.
Gaur., 1980., Dalam Suharto et al., 2009.Pupuk Organik Fone Compost.PT.LHM Research Station. Solo – Jawa Tengah.
44
Abdurohim, Oim. 2008. Pengaruh Kompos Terhadap Ketersediaan Hara Dan Produksi Tanaman Caisin Pada Tanah Latosol Dari Gunung Sindur, sebuah skripsi. Dalam IPB Repository, diunduh 13 Desember 2011.
Sihombing.,2000. DalamSumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Pupuk_organik# Pupuk_kandang07/01/2012/14:07
Soehadji.,1992. Dalam Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/ Pupuk_organik # Pupuk_kandang07/01/2012/14:07
Suryahadi.,2002. Dalam Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/ Pupuk_organik # Pupuk_kandang07/01/2012/14:07