LAPORAN
TUGAS AKHIR
APLIKASI PENGGUNAAN STARDEC DALAM PROSES PEMBUATAN
KOMPOS TERNAK RUMINANSIA
Disusun
Sebagai Persyaratan Menyelesaikan Tugas Akhir
di
Program Studi Pendidikan Teknologi Agroindustri
Bidang
Konsentrasi Teknologi Peternakan
Oleh
Yoggi
Prayoga
0811705
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN TEKNOLOGI AGROINDUSTRI
FAKULTAS PENDIDIKAN
TEKNOLOGI DAN KEJURUAN
UNIVERSITAS
PENDIDIKAN INDONESIA
KERJASAMA
DENGAN
PUSAT
PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN PERTANIAN
TAHUN
2012
LEMBAR
PENGESAHAN
LAPORAN
TUGAS AKHIR
APLIKASI PENGGUNAAN STARDEC DALAM PROSES PEMBUATAN
KOMPOS TERNAK RUMINANSIA
Disusun
Sebagai Persyaratan Melaksanakan Tugas Akhir
di
Program Studi Pendidikan Teknologi Agroindustri
Bidang
Konsentrasi Teknologi Peternakan
Oleh
Yoggi
Prayoga
0811705
Bandung,
....April 2012
Pembimbing,
Mujiyono SP, MP
NIP. 196505081990031003
Ka. DKPT
PPPPTK Pertanian
Ir. Anton Sugiri, MP
NIP 195906151988031003
|
|
Ketua Prodi
PTAG FPTK UPI
Dr. Sri
Handayani, M.Pd
NIP. 196609301997032001
|
SURAT
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa
tugas akhir ini benar-benar karya saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya
tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan orang lain
kecuali sebagai acuan atau kutipan dengan mengikuti tata penulisan karya ilmiah
yang lazim.
Bandung,
.....April 2012
Yang
menyatakan,
Yoggi
Prayoga
Yoggi Prayoga. NIM. 0811705. Aplikasi
Penggunaan Stardec Dalam Proses Pembuatan Kompos Ternak Ruminansia di PPPPTK Pertanian Cianjur Departemen Agribisnis Peternakan. Pembimbing: Mujiyono SP, MP.
Usaha peternakan mempunyai prospek untuk dikembangkan karena masih
banyaknya industri yang belum memanfaatkan limbah yang dihasilkan. Selain
mendapat keuntungan dari produk hewani, namun usaha peternakan juga dapat
menghasilkan produk berupa limbah yang dapat menjadi sumber penghasilan. Hal
ini dilakukan dengan cara mendaur ulang menjadi pupuk kompos yang berfungsi
sebagai soil conditioner (pembenah
tanah), sehingga kelestarian lingkungan bisa terjaga dengan baik.
Pelaksanaan
Tugas Akhir dengan judul Aplikasi Penggunaan Stardec Dalam Proses Pembuatan
Kompos Ternak Ruminansia dilakukan pada tanggal tanggal 23 Pebruari
sampai dengan 15 April 2012 di PPPPTK Pertanian Cianjur Departemen Agribisnis Peternakan. Strategi pelaksanaan yang digunakan adalah dengan metoda eksperimen yaitu suatu penelitian yang
berusaha mencari pengaruh variable tertentu terhadap variable yang lain dalam
kondisi yang terkontrol secara ketat. Bentuk metode eksperimen yang diambil adalah true experimental. Strategi pelaksanaan menggunkan strategi komparatif dengan
membandingkan hasil dari pengamatan pembuatan kompos dengan tiga perlakuan,
yaitu pemberian jumlah aktivator stardec yang berbeda pada masing-masing bahan
P1 (0,15 %), P2 (0,25 %), P3 (0,35 %). Sedangkan dalam teknik pengambilan
sample menggunakan teknik probability
yaitu teknik pengambilan
sample dengan memberi peluang yang
sama bagi setiap unsur dari populasi untuk dipilih menjadi sample.
Kegiatan Tugas
Akhir Aplikasi Penggunaan Stardec dalam Proses Pembuatan Kompos Ternak
Ruminansia dimulai dari persiapan alat dan bahan seperti, penimbangan dengan
jumlah bahan baku meliputi: kotoran sapi 2100 kg, stardec 5.98 kg, serbuk
gergaji 105 kg, abu organik 63 kg, bahan organic 63 kg, kapur/kalsit 63 kg.
Selanjutnya proses penumpukan bahan, penyiraman, penirisan, pencampuran bahan
baku, pembalikan, pendinginan sampai
dengan penyaringan.
PRAKATA
Bissmillahirrahmanirrahim...,
Puji syukur penulis
panjatkan kehadirat ALLAH S.W.T yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya
kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan Tugas
Akhir yang berlangsung dari tanggal 23 Pebruari sampai dengan 15 April 2012 di
PPPPTK Pertanian Cianjur Departemen Agribisnis Peternakan sampai dengan
penyelesaian laporan yang berjudul “Aplikasi
Penggunaan Stardec Dalam Proses Pembuatan Kompos Ternak Ruminansia”.
Laporan
ini merupakan persyaratan akademik guna sebagai mendapatkan pengalaman dan
kompetensi nyata di lapangan juga agar mahasiswa mampu mengaplikasikannya
dimasyarakat dan pada saat perkuliahan.
Pada kesempatan ini penulis
dengan penuh bersyukur
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik
selama dilaksanakannya tugas akhir juga dalam penyelesaian laporan ini. Penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ir.
Siswoyo, M.Si, Kepala Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
(PPPPTK) Pertanian Cianjur.
2. Ir.
Anton Sugiri, MP, Kepala Divisi Kerjasama Pendidikan Tinggi PPPPTK Pertanian Cianjur.
3.
Dr. Sri Handayani M.Pd, Ketua
Program Studi Pendidikan Teknologi Agroindustri FPTK UPI yang memberikan
pengarahan kepada mahasiswa.
4. Ir. Tutik Nuryati, MP, Kepala Departemen
Agribisnis Peternakan PPPPTK Pertanian Cianjur.
5.
Mujiyono SP, MP, Pembimbing
yang selalu membimbing dan memperbaiki kesalahan selama proses bimbingan dan
penyelesaian laporan ini.
6. Segenap dosen
pengajar dan karyawan PPPPTK Pertanian Cianjur.
7.
Ibunda dan Ayahanda tercinta
yang terus mendukung saya dalam menyelesaikan tugas, dan tak henti-hentinya
memberikan limpahan kasih sayang baik material maupun spiritual.
8. Keluarga
dan sodaraku yang selalu memberikan semangat dan motivasi disetiap suka dan
duka.
Namun penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan dan penyajian laporan ini belum mencapai kesempurnaan. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan penyusunan dan penyajian
laporan dimasa yang akan datang.
Akhirnya, penulis
mengucapkan semoga penulisan dan penyusunan laporan ini bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan
khusunya bagi penulis sendiri.
Cianjur, April 2012
Penulis
Yoggi Prayoga
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR
PENGESAHAN.............................................................................
i
SURAT PERNYATAAN................................................................................
ii
ABSTRAK.........................................................................................................
iii
PRAKATA........................................................................................................
iv
DAFTAR
ISI.....................................................................................................
vi
DAFTAR
TABEL............................................................................................
viii
DAFTAR
GAMBAR........................................................................................
ix
DAFTAR
LAMPIRAN....................................................................................
x
BAB I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang.................................................................................
1
1.2. Perumusan
Masalah..........................................................................
1
1.3. Tujuan
Kegiatan...............................................................................
2
1.4. Ruang
Lingkup Kegiatan.................................................................
2
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian
dan Karakteristik Limbah Peternakan ........................... 3
2.2. Dampak
Limbah Peternakan............................................................
3
2.3. Pengelolaan
Limbah Peternakan......................................................
4
2.4. Pengertian Pupuk
Kompos dan Pengomposan................................
4
2.5. Tatalaksana
Pembuatan Pupuk Kompos..........................................
7
2.5.1. Mempersiapkan
Bahan Baku................................................
7
2.5.2. Peralatan...............................................................................
7
2.5.3. Pelaksanaan
Pembuatan Pupuk Kompos..............................
9
2.6. Proses
Pengomposan........................................................................
11
2.7. Faktor
yang Mempengaruhi Pengomposan ..................................... 12
2.8. Kontrol
Proses Produksi Kompos....................................................
18
2.9. Standar
Kualitas Kompos................................................................
20
BAB III.
METODOLOGI
3.1. Tempat
dan Waktu...........................................................................
23
3.2. Alat dan
Bahan................................................................................
23
3.3. Rancangan/Strategi
Pelaksanaan......................................................
24
3.4. Parameter
Pengamatan dan Teknik Pengumpulan Data..................
26
3.5. Jadwal
Pelaksanaan..........................................................................
27
BAB IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Kegiatan..................................................................................
28
4.1.1. Alur Proses
Pembuatan Pupuk Kompos...............................
28
4.1.2. Proses
Pembuatan Pupuk Kompos.......................................
28
1)
Persiapan Bahan dan Peralatan..................................... 28
2)
Penimbangan.................................................................
32
3)
Penumpukan..................................................................
34
4)
Penyiraman....................................................................
35
5)
Penirisan........................................................................
35
6)
Pencampuran Bahan Baku............................................
35
7)
Monitoring.....................................................................
36
8)
Pembalikan....................................................................
36
9)
Pendinginan...................................................................
37
10) Penyaringan...................................................................
37
4.2. Pembahasan......................................................................................
37
4.2.1. Perlakuan
1...........................................................................
39
4.2.2. Perlakuan
2...........................................................................
40
4.2.3. Perlakuan
3...........................................................................
42
BAB V.
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan..........................................................................................
43
5.2. Saran................................................................................................
43
DAFTAR
PUSTAKA.......................................................................................
44
DAFTAR
TABEL
Halaman
Tabel 1. Tahapan Pengomposan.....................................................................
9
Tabel 2. Organisme
yang Terlibat dalam Proses Pengomposan.....................
12
Tabel 3. Imbangan
C/N dari Berbagai Sumber Bahan Organik.....................
13
Tabel 4. Diagnosis Permasalahan,
Penyebab dan Cara Menanggulanginya..
19
Tabel 5. Kandungan Unsur Hara dalam
Kompos..........................................
20
Tabel 6. Standar Kualitas Pupuk
Asosiasi Bark Kompos Jepang..................
21
Tabel 7. Jadwal Pelaksanaan Tugas
AKhir....................................................
27
Tabel 8. Kebutuhan Bahan Pembuatan
Pupuk Kompos................................
32
Tabel 9. Hasil Uji Organoleptik.....................................................................
38
Tabel 10. Hasil Analisis Organoleptik
Perlakuan 1..........................................
39
Tabel 11. Hasil Analisis Organoleptik
Perlakuan 2..........................................
40
Tabel 12. Hasil Analisis Organoleptik
Perlakuan 3..........................................
42
DAFTAR
GAMBAR
Halaman
Gambar
1. Kotoran
Sapi .............................................................................. 29
Gambar
2. Aktivator
Stardec........................................................................
29
Gambar
3. Bahan Organik............................................................................
30
Gambar
4. Serbuk
Gergaji 30
Gambar
5...... Abu
organik (sekam bakar).........................................................
31
Gambar
6. Kalsit/kapur.................................................................................
31
Gambar 7. Proses
Penimbangan....................................................................
32
Gambar 8. Tumpukan
Bahan Kompos..........................................................
35
Gambar 9. Proses
Pencampuran Bahan.........................................................
36
Gambar 10. Finishing
Proses Pencampuran....................................................
36
DAFTAR
LAMPIRAN
Halaman
Lampiran
1... Jurnal Kegiatan...................................................................................
47
Lampiran
2. Kartu
Bimbingan Tugas Akhir...........................................................
50
Lampiran
3. Photo
Kegiatan..................................................................................
53
Lampiran
4. Power
Point Seminar.......................................................................... 57
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peternakan
merupakan jenis usaha hasil hewani, diantaranya adalah daging, susu dan hasil
samping berupa limbah. Hasil samping peternakan seringkali menimbulkan protes
masyarakat karena aroma dan limbah yang dapat menimbulkan penyakit yang
berbahaya. Maka dalam hal ini harus ada penanganan secara signifikan dengan
mendaur ulang limbah menjadi produk yang bernilai ekonomis, terbukti banyaknya
perusahaan peternakan mulai memperhatikan lingkungan dengan memberlakukan pengolahan
limbah, salah satunya penanganan kotoran ternak. Sehingga hal ini berdampak
positif terhadap lingkungan yang terjaga dengan baik. Peternakan seringkali
melakukan pengolahan limbah kotoran dalam skala besar yang mencapai puluhan ton
bahan baku. Beda halnya dengan peternak kecil yang hanya menghasilkan sedikit
limbah kotoran dari beberapa ternak. Maka dari itu harus ada penelitian tentang
pengembangan pengolahan limbah yang dibuat untuk mendukung usaha peternakan
kecil sehingga limbah bisa termanfaatkan dengan baik. Beberapa metoda yang akan
dilakukan adalah dengan cara
menganalisis hasil aplikasi penggunaan stardec dan implementasi
pengolahan limbah menjadi pupuk kompos.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka perumusan masalah diantaranya adalah:
1.2.1. Bagaimana perbandingan hasil pembuatan kompos yang
diberi proporsi stardec yang berbeda ditinjau dari empat parameter: warna,
aroma, tekstur dan temperatur?
1.2.2. Bagaimana proses pembuatan pupuk kompos?
1.3. Tujuan
1.3.1. Mengetahui pengaruh pemberian proporsi stardec yang
berbeda terhadap warna, aroma, tekstur dan temperatur kompos selama proses
produksi.
1.3.2. Mengetahui efektifitas usaha pembuatan pupuk kompos.
1.4. Ruang
Lingkup Kegiatan
Kegiatan
tugas akhir mencakup semua proses dalam pembuatan pupuk kompos berbahan dasar
kotoran ruminansia yang di dekomposisi dengan aktivator stardec. Kegiatan
berawal dari persiapan alat dan bahan, penimbangan, pencampuran, proses
dekomposisi meliputi: penumpukan timbunan dan pembalikan sampai pematangan.
Pada proses dekomposisi yaitu sewaktu pembalikan dilakukan monitoring
(pengontrolan temperatur dan organoleptik). Parameter yang diambil dari
pengaruh pemberian jumlah aktivator pada tiga bahan perlakuan. Hal ini ditinjau
dari pengujian organoleptik dilihat dari segi warna, aroma, tekstur, kelembapan
dan temperatur. Kegiatan ini dilakukan selama proses dekomposisi berlangsung
yaitu setiap satu minggu sekali sampai kompos bisa dinyatakan matang.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Pengertian dan Karakteristik Limbah Peternakan
Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha
peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan
produk ternak, dan sebagainya. Menurut Soehadji (1992), limbah peternakan
meliputi semua kotoran yang dihasilkan dari suatu kegiatan usaha peternakan
baik berupa limbah padat, cairan, gas, maupun sisa pakan. Limbah padat merupakan
semua limbah yang berbentuk padatan atau dalam fase padat (kotoran ternak,
ternak yang mati, atau isi perut dari pemotongan ternak). Limbah cair adalah
semua limbah yang berbentuk cairan atau dalam fase cairan (air seni atau urine,
air dari pencucian alat-alat). Sedangkan limbah gas adalah semua limbah
berbentuk gas atau dalam fase gas.
2.2. Dampak
Limbah Peternakan
Semakin berkembangnya usaha peternakan, limbah yang
dihasilkan semakin meningkat. Total limbah yang dihasilkan peternakan
tergantung dari species ternak, besar usaha dan tipe usaha. Kotoran sapi yang
terdiri dari feces dan urine merupakan limbah ternak yang paling banyak dihasilkan, sebagian besar manure dihasilkan oleh ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing, dan domba. Hasil limbah
tersebut umumnya menghasilkan pencemaran gas metan yang menyebabkan bau yang tidak enak bagi
lingkungan sekitar. Gas metan (CH4) berasal dari proses pencernaan
ternak ruminansia. Gas metan adalah salah satu gas yang bertanggung jawab
terhadap pemanasan global dan perusakan ozon,
dengan laju 1 % per tahun dan terus meningkat. Apalagi di Indonesia, emisi
metan per unit pakan atau laju konversi metan lebih besar karena kualitas
hijauan pakan yang diberikan rendah. Semakin tinggi jumlah pemberian pakan
kualitas rendah, semakin tinggi produksi metan (Suryahadi dkk., 2002).
2.3. Pengelolaan
Limbah Peternakan
Limbah peternakan dapat dimanfaatkan untuk berbagai
kebutuhan, salah satunya dapat
diperbaharui (renewable) selama masa produksi masih berlangsung. Limbah ternak sebetulnya masih mengandung nutrisi atau zat
padat potensial yang dapat dimanfaatkan untuk bahan makanan ternak, khususnya
pupuk pupuk
organik. Pupuk
organik digunakan untuk kebutuhan unsur hara tanah sehingga mencukupi kebutuhan
nutrient HMT (Hijauan Makanan Ternak) yang akan dikonsumsi ternak. Hal ini dilihat dari nutrient (zat makanan) yang terkandung pada limbah seperti protein, lemak, bahan
ekstrak tanpa nitrogen (BETN), vitamin, mineral, mikroba atau biota, dan
zat-zat yang lain (unidentified subtances). Selain itu,
limbah juga bisa dimanfaatkan sebagai energi dan media berbagai tujuan (Sihombing, 2002).
2.4. Pengertian
Pupuk Kompos dan Pengomposan
2.4.1.
Pupuk Kompos
Kompos adalah hasil penguraian
parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam
mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembap, dan aerobik atau anaerobik
(Modifikasi dari J.H. Crawford, 2003).
2.4.2.
Pengomposan
Pengomposan adalah proses dimana bahan organik
mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang
memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Proses pengomposan melibatkan
sejumlah organisme tanah termasuk bakteri, jamur, protozoa, aktinomisetes, nematoda, cacing tanah, dan serangga.
Populasi dari semua organisme ini berfluktuasi, tergantung dari proses
pengomposan. Ada dua mekanisme proses pengomposan, yakni pengomposan secara
aerobik dan anaerobik. Kedua proses pengomposan ini dibedakan berdasarkan ketersediaan oksigen
bebas, diantaranya:
·
Pengomposan secara Aerobik
Pada proses pengomposan
secara aerobik, oksigen mutlak dibutuhkan. Mikroorganisme yang terlibat dalam
proses pengomposan membutuhkan oksigen dan air untuk merombak bahan organik dan
mengasimilasikan sejumlah karbon, nitrogen, fosfor, belerang, dan unsur lainnya
untuk sintesis protoplasma sel tubuhnya. Karbon diasimilasikan lebih banyak
daripada nitrogen dan digunakan sebagai sumber energi serta membentuk
protoplasma. Sekitar dua pertiga bagian dari karbon dikeluarkan dalam bentuk
karbondioksida (CO2)
sedangkan sisanya akan berkombinasi dengan nitrogen dalam sel.
Proses perombakan bahan
organik secara aerobik akan menghasilkan humus, karbondioksida, air, dan
energi. Beberapa bagian energinya digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme,
dan sisanya dikeluarkan dalam bentuk panas. Secara keseluruhan, reaksinya akan
berlangsung sebagai berikut.
Mikroba
aerob
Bahan
Organik CO2+H2O+hara+humus+energi
N, P, K
·
Pengomposan Anaerobik
Proses pengomposan anaerobik
berjalan tanpa adanya oksigen. Biasanya, prosesnya dilakukan dalam wadah
tertutup sehingga tidak ada udara yang masuk (hampa udara). Proses pengomposan
ini melibatkan mikroorganisme anaerob untuk membantu mendekomposisi bahan yang
dikomposkan. Bahan baku yang dikomposkan secara anaerob biasanya berupa bahan
organik yang berkadar air tinggi.
Pengomposan anaerobik akan
menghasilkan gas metan (CH4), karbondioksida (CO2), dan
asam organik yang memiliki bobot molekul rendah seperti asam asetat, asam propionat,
asam butirat, asam laktat, dan asam
suksinat. Gas metan bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif
(biogas). Sisanya berupa lumpur yang mengandung bagian padatan dan cairan.
Bagian padatan ini yang disebut kompos. Namun, kadar airnya masih tinggi
sehingga sebelum digunakan harus dikeringanginkan.
2.4.3.
Manfaat Pupuk Kompos
Kompos mempunyai manfaat yaitu memperbaiki struktur tanah, dengan meningkatkan kandungan bahan
organik tanah serta
akan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah.
Kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek:
·
Aspek Ekonomi :
- Menghemat biaya untuk transportasi
dan penimbunan limbah.
- Mengurangi volume/ukuran limbah.
- Memiliki nilai jual yang lebih
tinggi dari pada bahan asalnya.
· Aspek Lingkungan :
- Mengurangi polusi udara karena
pembakaran limbah dan pelepasan gas metana dari kotoran akibat bakteri metanogen.
- Mengurangi kebutuhan lahan untuk
penimbunan.
· Aspek bagi tanah/tanaman:
- Meningkatkan kesuburan tanah.
- Memperbaiki struktur dan struktur tanah.
- Meningkatkan kapasitas penyerapan
air tanah.
- Meningkatkan aktivitas mikroba tanah.
- Meningkatkan kualitas hasil panen (rasa,
nilai gizi, dan jumlah panen).
- Menyediakan hormon dan vitamin bagi
tanaman.
- Meningkatkan retensi/ketersediaan
hara di dalam tanah.
2.5.
Tatalaksana Pembuatan Pupuk Kompos
Pembuatan pupuk kompos memiliki beberapa persiapan dan tahapan yang harus
dilakukan. Hal tersebut antara lain:
2.5.1. Mempersiapkan
Bahan Baku
Bahan utama pembuatan Pupuk Kompos adalah limbah organik, khususnya limbah ternak (feces, urine dan sisa pakan), dicampur
dengan beberapa bahan pembantu yang merupakan bahan baku organik. Penggunaan limbah
ternak khususnya kotoran sapi yang dipilih dalam pembuatan pupuk
kompos, karena bahan ini sangat melimpah dan memiliki kandungan
nitrogen, pottassium dan materi serat
yang tinggi, tidak ada masalah polusi logam berat dan antibiotik. Sementara
kandungan phospor yang rendah bisa disuplai dari sumber lain. Bahan tersebut merupakan bahan pembantu berupa serbuk gergaji, abu dari
sisa pembakaran bahan organik dan kalsit. Sementara untuk mempercepat proses
dekomposisi, sekaligus untuk meningkatkan kualitas hasil yang dipakai,
digunakan starter khusus yang dikenal dengan nama Stardec, starter ini berfungsi sebagai aktivator dekomposer
yang mengurai bahan baku menjadi kompos. Stardec
sendiri adalah starter yang dikembangkan oleh PT Lembah Hijau Multifarm
Research Station. Kandungan didalamnya terdapat beberapa mikroba pengurai
limbah, yaitu mikroba lignolitik,
mikroba selulotik, mikroba proteolitik, mikroba lipolitik, mikroba aminolitik, dan mikroba fiksasi nitrogen non-simbiotik.
2.5.2.
Peralatan
Peralatan yang diperlukan dalam pengomposan secara aerobik
terdiri dari peralatan untuk penanganan bahan dan peralatan perlindungan
keselamatan dan kesehatan bagi pekerja. Berikut ini adalah peralatan yang digunakan untuk
proses pembuatan kompos:
·
Sekop
Digunakan sebagai alat untuk proses pembalikan, pengayakan atau tugas-tugas lainnya.
·
Garpu/cangkrang
Digunakan untuk membantu proses
pembalikan tumpukan bahan dan pemilahan bahan baku kompos.
·
Saringan/ayakan
- Digunakan untuk mengayak kompos yang
sudah matang agar diperoleh ukuran yang sesuai.
- Ukuran lubang saringan disesuaikan
dengan ukuran kompos yang diinginkan.
- Saringan bisa berbentuk papan saring
yang dimiringkan atau saringan putar.
·
Termometer
- Digunakan untuk mengukur suhu
tumpukan.
- Pada bagian ujungnya dipasang tali
untuk mengulur termometer ke bagian dalam tumpukan dan menariknya kembali
dengan cepat.
·
Timbangan
- Digunakan untuk menimbang
bahan baku yang akan dibuat kompos.
- Jenis timbangan dapat disesuaikan
dengan kebutuhan penimbangan dan pengemasan.
·
Sepatu boot
Digunakan untuk melindungi kaki dari
benda-benda yang berbahaya selama proses pembuatan kompos.
·
Sarung tangan
Digunakan oleh pekerja untuk
melindungi tangan selama melakukan proses pembuatan kompos.
·
Masker
Digunakan oleh pekerja untuk
melindungi pernafasan dari debu dan gas bahan terbang lainnya
2.5.3.
Pelaksanaan Pembuatan Pupuk Kompos
Menurut Sutanto., 2002.
Pembuatan kompos dapat dibagi
menjadi tiga tahap seperti disajikan dalam Tabel 1. Pada tahap awal atau dekomposisi intensif berlangsung, dihasilkan suhu
yang cukup tinggi dalam waktu yang relatif pendek dan bahan organik yang mudah
terdekomposisi diubah menjadi senyawa lain. Pada tahap pematangan utama dan
pasca pematangan, bahan yang sukar akan terdekomposisi akan terurai dan
membentuk ikatan kompleks lempung
humus.
Tabel
1. Tahapan Pengomposan
No.
|
Tahapan
|
Pematangan
Bahan
|
Produk
|
Kategori
Pematangan
|
1.
|
Tahap dekomposisi dan sanitasi
|
Pra-matang/ dekomposisi
intensif
|
Kompos segar
|
II
|
2.
|
Tahap konversi
|
Pematangan utama
|
Kompos segar
|
III
|
3.
|
Tahap sintetik
|
Pasca pematangan
|
Kompos matang
|
IV & V
|
Sumber:
Sutanto (2002)
Adapun tahap-tahap pengomposan secara rinci di bawah ini:
·
Pemilahan Bahan Baku Kompos
Pada tahap ini dilakukan pemisahan bahan baku dari bahan anorganik (plastik dan barang berbahaya). Pemilahan
harus dilakukan dengan teliti karena akan menentukan keberhasilan proses dan mutu kompos yang
dihasilkan.
·
Pengecil Ukuran
Pengecil ukuran dilakukan untuk memperluas permukaan bahan baku, sehingga bahan baku dapat dengan mudah dan cepat
didekomposisi menjadi kompos.
·
Penyusunan Tumpukan
- Bahan baku kompos yang telah melewati tahap pemilahan
dan pengecil ukuran kemudian disusun menjadi tumpukan.
- Desain penumpukan yang biasa
digunakan adalah desain melingkar membentuk kerucut dengan keliling 1.7
meter dan tinggi 1-1.5 m.
·
Pembalikan
Pembalikan dilakukan untuk membuang panas yang
berlebihan, memasukkan udara segar ke dalam tumpukan bahan, meratakan proses
pelapukan di setiap bagian tumpukan, meratakan pemberian air (60 %
kadara air bahan),
serta membantu penghancuran bahan menjadi partikel kecil-kecil.
·
Penyiraman
- Pembalikan dilakukan terhadap bahan
baku dan tumpukan yang terlalu kering (kelembapan kurang dari 50%).
- Secara manual perlu tidaknya
penyiraman dapat dilakukan dengan memeras segenggam bahan dari bagian dalam
tumpukan.
- Apabila pada saat digenggam kemudian
diperas tidak keluar air, maka tumpukan bahan baku harus ditambahkan air. sedangkan
jika sebelum diperas sudah keluar air, maka tumpukan terlalu basah oleh karena
itu perlu dilakukan pembalikan.
·
Pendinginan
- Setelah pengomposan berjalan 30 – 40
hari, suhu tumpukan akan semakin menurun hingga mendekati suhu ruangan.
- Pada saat itu tumpukan telah lapuk,
berwarna coklat tua atau kehitaman. Kompos masuk pada tahap pematangan selama
14 hari.
·
Penyaringan
- Penyaringan dilakukan untuk
memperoleh ukuran partikel kompos sesuai dengan kebutuhan serta untuk
memisahkan bahan-bahan yang tidak dapat dikomposkan yang lolos dari proses
pemilahan di awal proses.
- Bahan yang belum terdekomposisi dikembalikan ke dalam tumpukan yang
baru.
·
Pengemasan dan Penyimpanan
- Kompos yang telah disaring dikemas
dalam kantung sesuai dengan kebutuhan pemasaran.
- Kompos yang telah dikemas disimpan
dalam gudang yang aman dan terlindung dari kemungkinan tumbuhnya jamur dan
tercemari oleh bibit jamur dan benih gulma dan benih lain yang tidak
diinginkan yang mungkin terbawa oleh angin.
2.6.
Proses Pengomposan
Proses pengomposan akan segera berlansung setelah
bahan-bahan mentah dicampur. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi
menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap
awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera
dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik.
Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Demikian pula akan diikuti
dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 40o - 75o C. Suhu akan tetap tinggi selama
waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik, yaitu mikroba yang aktif
pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi dekomposisi/penguraian bahan organik
yang sangat aktif.
Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen
akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas.
Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur
mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut,
yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi
penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 –
40% dari volume/bobot awal bahan.
Tabel 2. Organisme yang terlibat dalam proses pengomposan
Kelompok Organisme
|
Organisme
|
Jumlah/gr kompos
|
Mikroflora
|
Bakteri; Aktinomicetes; Kapang
|
109 - 109;
105 108; 104 - 106
|
Mikrofanuna
|
Protozoa
|
104 - 105
|
Makroflora
|
Jamur tingkat tinggi
|
|
Makrofauna
|
Cacing tanah, rayap, semut, kutu,
dll
|
|
Proses pengomposan tergantung pada :
2.6.1.
Karakteristik bahan yang dikomposkan
Karena dalam
proses dekomposisi semakin kecil partikel bahan baku semakin cepat pula
kematangan kompos.
2.6.2.
Aktivator pengomposan yang
dipergunakan
Aktivator
dipengaruhi oleh jenis yang digunakan, apabila aktivator yang digunakan dari
jenis aerob maka dalam proses pembuatan harus diperhatikan ketercukupan udara
pada timbunan kompos, karena mikroba aerob membutuhkan udara. Sehingga aerasi
dalam timbunan kompos harus di jaga dengan baik. Apabila tidak terjaga maka
mikroba akan mati dan kompos tidak akan berhasil dibuat.
2.6.3.
Metode pengomposan yang dilakukan
Keberhasilan
dalam proses dekomposisi dipengaruhi oleh tatalaksana pembuatan yang dilakukan.
Apabila proses produksi tidak sesuai dengan prosedur yang ada, maka akibatnya
akan terjadi kegagalan.
2.7.
Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan
Proses pengomposan merupakan
proses biokimia sehingga setiap faktor yang mempengaruhi mikroorganisme tanah
akan mempengaruhi laju dekomposisi tersebut. Laju dekomposisi bahan organik
(bahan baku kompos) menjadi kompos yang matang tergantung dari beberapa faktor
diantaranya:
2.7.1.
Imbangan C/N
Imbangan C/N bahan organik
(bahan baku kompos) merupakan faktor terpenting dalam laju pengomposan. Proses
pengomposan akan berjalan baik jika imbangan C/N bahan organik yang dikomposkan
sekitar 25-35. Imbangan C/N yang terlalu tinggi akan menyebabkan proses
pengomposan berlangsung lambat. Keadaan ini disebabkan mikroorganisme yang
terlibat dalam proses pengomposan kekurangan nitrogen (N). Sementara itu,
imbangan yang terlalu rendah akan menyebabkan kehilangan nitrogen dalam bentuk ammonia yang selanjutnya akan teroksidasi.
Setiap bahan organik
memiliki imbangan C/N yang berbeda. Imbangan C/N limbah ternak umumnya lebih
rendah dibandingkan dengan C/N dari tanaman. Karena itu, penggunaan sebagai
bahan baku kompos harus dicampur dengan bahan organik yang memiliki imbangan
C/N tinggi sehingga dapat menghasilkan imbangan C/N yang optimal.
Tabel 3.
Imbangan C/N dari berbagai sumber bahan organik
No.
|
Jenis Bahan Organik
|
Imbangan C/N
|
1.
|
Urine Ternak
|
0,8
|
2.
|
Kotoran Ayam
|
5,6
|
3.
|
Kotoran Sapi
|
15,8
|
4.
|
Kotoran Babi
|
11,4
|
5.
|
Kotoran Manusia (tinja)
|
6-10
|
6.
|
Darah
|
3
|
7.
|
Tepung Tulang
|
8
|
8.
|
Urine Manusia
|
0,8
|
9.
|
Eceng Gondok
|
17,6
|
10.
|
Jerami Gandum
|
80-130
|
11.
|
Jerami Padi
|
80-130
|
12.
|
Ampas Tebu
|
110-120
|
13.
|
Jerami Jagung
|
50-60
|
14.
|
Sesbania sp
|
17,9
|
15.
|
Serbuk Gergaji
|
500
|
16.
|
Sisa Sayuran
|
11-27
|
Sumber: Gaur A.C., 1983
Kecepatan dekomposisi bahan
organik ditunjukkan oleh perubahan imbangan C/N. Selama proses mineralisasi,
imbangan C/N bahan-bahan yang banyak mengandung N akan berkurang menurut waktu.
Kecepatan kehilangan C lebih besar daripada N sehingga diperoleh imbangan C/N
yang lebih rendah (10-20). Apabila imbangan C/N sudah mencapai angka tersebut,
artinya proses dekomposisi sudah mencapai sudah mencapai tingkat akhir atau
kompos sudah matang.
2.7.2.
Suhu Pengomposan
Faktor suhu sangat
berpengaruh terdapat proses pengomposan karena berhubungan dengan jenis
mikroorganisme yang terlibat. Suhu maksimum bagi pengomposan adalah 40-60 ºC
dengan suhu optimum 75 ºC. Jika suhu
pengomposan mencapai 40 ºC, aktivitas mikroorganisme mesofil akan digantikan oleh mikroorganisme termofil. Jika suhu mencapai 60 ºC, fungi akan berhenti bekerja dan
proses perombakan dilanjutkan oleh aktinomisetes serta strain bakteri pembentuk spora (spore
farming bacteria).
Jika diminati dan hasilnya
dituangkan ke dalam bentuk grafik akan menghasilkan kurva berbentuk parabola.
Bentuk ini menunjukan adanya peningkatan suhu pada awal proses pengomposan
hingga suatu waktu akan mencapai suhu tertinggi. Peningkatan suhu yang terjadi
pada awal pengomposan ini disebabkan oleh panas yang dihasilkan dari proses
perombakan bahan organik oleh mikroorganisme. Pada tahap ini, mikroorganisme
memperbanyak diri secara cepat. Setelah itu, suhu pengomposan akan turun
kembali hingga mencapai suhu kamar (25 ºC) yang menandakan kompos sudah matang.
Temperatur di bagian tengah
tumpukan bahan kompos bisa mencapai 55-70 ºC. Suhu yang tinggi merupakan
keadaan yang baik untuk menghasilkan kompos yang steril karena selama suhu
pengomposan lebih dari 60 ºC (dipertahankan selama tiga hari) mikroorganisme
pathogen, parasit, dan benih gulma akan mati.
2.7.3.
Tingkat Keasaman (pH)
Salah satu faktor kritis
bagi pertumbuhan mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan adalah
tingkat keasaman (pH). Karena itu, pengaturan pH selama proses pengomposan
perlu dilakukan. Pada awal pengomposan, reaksi cenderung agak asam karena bahan
organik yang dirombak menghasilkan asam-asam organik sederhana. Namun, akan
mulai naik sejalan dengan waktu pengomposan dan akhirnya akan stabil pada pH
sekitar netral.
Jika bahan yang dikomposkan
terlalu asam, pH dapat dinaikkan dengan cara menambahkan kapur. Sebaliknya,
jika nilai pH tinggi (basa) bisa diturunkan dengan menambahkan bahan yang
bereaksi asam (mengandung nitrogen) seperti urea atau kotoran hewan.
2.7.4.
Jenis Mikroorganisme yang Terlibat
Berdasarkan suhu yang sesuai
untuk metabolisme dan pertumbuhannya, mikroorganisme diklasifikasikan dalam
tiga kategori, yaitu psiklorofil,
mesofil, dan termofil.
Mikroorganisme psiklorofil hidup pada
suhu kurang dari 20 ºC. Mikroorganisme mesofil
dapat hidup pada suhu 25-40 ºC, sedangkan mikroorganisme termofil hidup pada suhu di atas 65 ºC. Namun, yang terlibat dalam
proses pengomposan adalah mikroorganisme mesofil
dan termofil.
Pada awal dekomposisi,
mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan adalah jenis mesofil (suhu pengomposan masih di bawah
45 ºC). Beberapa hari setelah terfermentasi, suhu pengomposan meningkat
sehingga peran mikroorganisme mesofil digantikan
oleh mikroorganisme termofil. Setelah
suhu pengomposan turun lagi, mikroorganisme mesofil
akan aktif kembali.
Proses pengomposan bisa
dipercepat dengan menambahkan starter atau aktivator yang kandungan bahannya
berupa mikroorganisme (kultur bakteri), enzim, dan asam humat. Mikroorganisme yang ada dalam aktivator ini akan
merangsang aktivitas mikroorganisme yang ada dalam bahan kompos sehingga cepat
berkembang. Akibatnya, mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan semakin
banyak dan proses dekomposisi akan semakin cepat.
2.7.5.
Aerasi
Aerasi yang baik sangat dibutuhkan
agar proses dekomposisi (pengomposan) bahan organik berjalan lancer. Aerasi (pengaturan udara) yang baik ke
semua bagian tumpukan bahan kompos sangat penting untuk menyediakan oksigen
bagi mikroorganisme dan membebaskan CO2 yang dihasilkan.
Karbondioksida yang dihasilkan harus dibuang agar tidak menimbulkan zat beracun
yang merugikan mikroorganisme sehingga bisa menghambat aktivitasnya.
Dalam praktiknya, pengaturan
aerasi dilakukan dengan cara
membalikan tumpukan bahan kompos secara teratur. Selain itu, bisa juga dengan
pergerakan udara secara alami ke dalam tumpukan kompos melalui saluran-saluran aerasi yang dibuat dari batang bambu.
2.7.6.
Kelembapan (RH)
Kelembapan berperan penting
dalam proses dekomposisi bahan baku kompos karena berhubungan dengan aktivitas
mikroorganisme. Kelembapan optimum untuk proses pengomposan aerobik sekitar
50-60 % setelah bahan organik dicampur.
Kelembapan campuran bahan
kompos yang rendah (kekurangan air) akan menghambat proses pengomposan dan akan
menguapkan nitrogen ke udara. Namun,
jika kelembapan tinggi (kelebihan air) proses pertukaran udara dalam campuran
bahan kompos akan terganggu. Pori-pori udara yang ada dalam tumpukan bahan kompos
akan di isi air dan cenderung menimbulkan kondisi anaerobik.
Penambahan air yang
berlebihan ke campuran bahan bahan baku kompos bisa diatasi dengan cara
menambahkan tanah sebanyak 5-10%. Selain itu, bisa juga menambahkan bahan
kering hingga mencapai kelembapan yang optimum. Selama proses pengomposan
berlangsung, kelembapan dalam tumpukan bahan kompos harus terus dikontrol.
Kelembapan dalam tumpukan bahan kompos bisa diketahui dengan cara menancapkan
tongkat bambu ke dalamnya, lalu angkat lagi. Jika tongkat kering, berarti
kelembapan rendah sehingga perlu ditambahkan air.
2.7.7.
Struktur Bahan Baku
Laju dekomposisi bahan
organik juga tergantung dari sifat bahan yang akan dikomposkan. Sifat bahan
tanaman tersebut di antaranya jenis tanaman, umur, dan komposisi kimia tanaman.
Semakin muda umur tanaman, proses dekomposisi akan berlangsung lebih cepat. Hal
ini disebabkan kadar airnya masih tinggi, kadar nitrogen tinggi, imbangan C/N
yang sempit, serta kandungan lignin
yang rendah.
2.7.8.
Ukuran Bahan Baku
Ukuran bahan baku kompos
akan mempengaruhi kecepatan proses pengomposan. Semakin kecil ukuran bahan
(5-10 cm), proses pengomposan (dekomposisi) berlangsung semakin cepat. Hal ini
terjadi karena adanya peningkatan luas permukaan bahan untuk “diserang”
mikroorganisme.
Ukuran bahan baku yang
kurang dari 5 cm akan mengurangi pergerakan udara yang masuk ke dalam timbunan
dan pergerakan CO2 yang keluar. Sebaliknya, ukuran bahan yang
terlalu besar menyebabkan luas permukaan yang “diserang” akan menurun sehingga
proses dekomposisi berlangsung lambat, bahkan bisa terhenti sama sekali.
2.7.9.
Pengadukan (Homogenisasi)
Faktor lain yang berpengruh
terhadap proses pengomposan adalah pengadukan. Bahan baku kompos terdiri dari
campuran berbagai bahan organik yang memiliki sifat terdekomposisi berbeda (ada
yang mudah dan sukar terdekomposisi). Apabila campuran bahan ini tidak diaduk,
maka proses dekomposisi tidak berjalan secara merata. Akibatnya, kompos yang
dihasilkan kurang bagus.
Karena itu, sebelum dan
selama proses pengomposan, campuran bahan baku kompos harus diaduk sehingga
mikroba perombak bahan organik bisa menyebar secara merata. Dengan demikian, kinerja
mikroba perombak bahan organik bisa lebih efektif. Pengadukan sebaiknya
dilakukan seminggu sekali.
2.8. Kontrol Proses Produksi Kompos
Perkembangan
proses dekomposisi yang kurang baik pada umumnya
disebabkan oleh kandungan lengas
tidak sesuai dan atau campuran bahan yang kurang sesuai. Selama proses
dekomposisi berlangsung harus dilakukan monitoring terhadap kelembapan dan suhu
dengan tujuan mengidentifikasi dan memperbaiki kesalahan pada tahap awal
dekomposisi. Alasan dilakukannya
monitoring diantaranya adalah:
2.8.1.
Proses pengomposan membutuhkan pengendalian agar memperoleh
hasil yang baik.
2.8.2.
Kondisi ideal bagi proses pengomposan berupa keadaan
lingkungan atau habitat dimana jasad renik (mikroorganisme) dapat hidup dan
berkembang biak dengan optimal.
2.8.3.
Jasad renik membutuhkan air, udara (O2), dan makanan berupa
bahan organik dari sampah untuk menghasilkan energi dan tumbuh.
Pada
Tabel 4. disajikan daftar
permasalahan yang mungkin timbul selama proses pengomposan, identifikasi
penyebab, dan cara memperbaikinya.
Tabel 4. Diagnosis permasalahan,
penyebab, dan cara menanggulanginya
No.
|
Permasalahan
|
Penyebab
|
Cara
Menanggulangi
|
1.
|
Bahan baku terlalu kering,
proses dekomposisi berhenti
|
-
Kelembapan
turun di bawah batas ambang yang dibutuhkan mikroba karena suhu meningkat
-
Bahan
dasar kompos terlalu kering
|
-
Kompos
dibalik secara berkala
-
Menambah
bahan kompos segar
-
Menutupi
timbunan kompos untuk mengurangi penguapan
|
2.
|
Bahan baku terlalu basah, warna
kehitaman, kekurangan oksigen
|
-
Curah
hujan terlalu tinggi
-
Bahan
campuran mengandung air tinggi, namun kandungan nitrogen rendah
|
-
Kompos
dibalik secara berkala, bagian dasar diberi alas kering berupa potongan kayu
atau ranting
-
Menambah
tanah, batuanyang dihaluskan atau kapur
|
3.
|
Dekomposisi berjalan lambat
|
-
Prosentase
kandungan lignin terlalu tinggi sehingga rasio
C/N tinggi
-
Terlalu
kering
|
-
Kompos
dibalik secara berkala
-
Menambah
bahan yang kaya nitrogen (kotoran ternak, limbah dapur/rumah tangga)
|
4.
|
Bau busuk
|
-
Tergenang
-
Kekurangan
oksigen
-
Prosentase
bahan yang mengandung nitrogen terlalu tinggi
-
Kekurangan
bahan yang ruah
-
Bahan
memadat
|
-
Kompos
dibalik secara berkala
-
Menambah
bahan yang ruah
|
5.
|
Kompos mengandung benih gulma
|
-
Selama
proses dekomposisi suhu terlalu rendah
|
-
Kelembapan
dan aerasi diatur
-
Bahan
yang mengandung biji gulma diletakkan di bagian tengah timbunan agar mencapai
peningkatan suhu yang tinggi
|
6.
|
Kompos diserang kecoa
|
-
Tersisa
makanan dan hewan di sekitar timbunan dan tidak cukup
|
-
Menempatkan
bahan limbah dapur di bagian tengah timbunan kemudian ditutup.
|
Sumber:
Diolah dari sutanto (2002)
2.9. Standar
Kualitas Kompos
2.9.1. Menentukan
Kematangan Kompos
Kompos dikatakan bagus dan siap diaplikasikan jika tingkat kematangannya
sempurna. Kompos yang matang bisa dikenali dengan memperhatikan keadaan bentuk
fisiknya, sebagai berikut.
a.
Jika diraba, suhu tumpukan
bahan yang dikomposkan sudah dingin, mendekati suhu ruang.
b.
Tidak mengeluarkan bau lagi.
c.
Bentuk fisiknya sudah menyerupai
tanah yang berwarna hitam.
d.
Jika dilarutkan ke dalam
air, kompos yang sudah matang tidak akan larut.
e.
Strukturnya remah, tidak
menggumpal.
2.9.2. Kualitas
Kompos
Kualitas kompos biasanya diidentikan dengan kandungan unsur hara yang ada di dalamnya (pada tabel 5).
Kualitas kompos sangat vegetatif, tergantung dari bahan baku atau proses
pengomposan. Unsur hara dalam kompos terbilang lengkap (mengandung unsur hara
makro dan mikro), tetapi kadarnya kecil sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan
tanaman. Karena itu, kualitas kompos akan lebih baik jika mutunya ditingkatkan,
terutama kandungan unsur hara makro.
Tabe 5. Kandungan unsur hara
dalam kompos
No.
|
Unsur Hara
|
Jumlah
|
1.
|
Nitrogen (N)
|
1,33 %
|
2.
|
Fosfor (P2O5)
|
0,85 %
|
3.
|
Kalium (K2O)
|
0,36 %
|
4.
|
Kalsium (Ca)
|
5,61 %
|
5.
|
Zat Besi (Fe)
|
2,1 %
|
6.
|
Seng (Zn)
|
285 ppm
|
7.
|
Timah (Sn)
|
575 ppm
|
8.
|
Tembaga (Cu)
|
65 ppm
|
9.
|
Kadmium (Cd)
|
5 ppm
|
10.
|
Humus
|
53,7 %
|
11.
|
pH
|
7,2
|
Sumber: Nan Djuarni, Kristian dan Budi, 2005
Sampai saat ini, di Indonesia belum ada standar kualitas kompos yang
dikeluarkan secara resmi (Standar Nasional Indonesia; SNI). Akibatnya, tidak
ada pedoman yang dipakai secara seragam. Berikut standar kualitas kompos yang
bisa dipakai acuan (tabel 6,) sebagai berikut.
Tabel 6. Standar kualitas Asosiasi Bark kompos Jepang
No.
|
Parameter
|
Jumlah
|
1.
|
Bahan
Organik
|
> 70 %
|
2.
|
N-total
|
> 1,2 %
|
3.
|
C/N
rasio
|
< 35 %
|
4.
|
P2O5
|
> 0,5 %
|
5.
|
K2O
|
> 0,3 %
|
6.
|
pH
|
5,5-7,5
|
7.
|
KTK
|
> 70 meq/100 g
|
8.
|
Kelembapan
|
60 %
|
Sumber: Harada et.al., 1993
2.9.3. Meningkatkan
Unsur Hara dalam Kompos
Meningkatkan kualitas kompos relatif mudah dilakukan, yaitu dengan cara
menambahkan bahan peningkat kualitas dengan komposisi tertentu. Jenis bahan
peningkat kualitas yang akan ditambahkan disesuaikan dengan unsur hara yang
kadarnya ingin dinaikkan atau atas permintaan konsumen.
Bahan yang bisa digunakan untuk meningkatkan kulitas kompos adalah tepung
darah, tepung tulang, tepung kerabang, dan urine ternak. Tepung darah digunakan
untuk meningkatkan unsur nitrogen (N) dan fosfor dalam kompos. Jumlah yang bisa
ditambahkan ke dalam kompos adalah 1 %. Artinya, untuk 100 kg kompos dibutuhkan
tepung darah sebanyak 1 kg. Mencampurkan tepung darah dengan kompos bisa
dilakukan secara manual (jumlah kecil), yaitu megaduknya menggunakan cangkul
atau sekop hingga semua bahan tercampur rata.
Sementara itu, tepung tulang digunakan untuk meningkatkan unsur hara
kalsium (Ca) dan fosfor (P). Tepung tulang dapat ditambahkan ke dalam kompos
sebanyak 2-3 % atau 2-3 kg untuk setiap 100 kg kompos. Meningkatkan unsur hara
kalsium dalam kompos bisa juga diperoleh dari tepung kerabang telur. Tepung
kerabang ditambahkan sebanyak 1 % atau 1 kg untuk setiap 100 kg kompos. Jika
jumlah komposnya sedikit, pencampuran tepung tulang bisa dilakukan secara
manual. Namun, jika jumlahnya banyak perlu menggunakan mesin pencampur (mollen)
agar lebih efisien.
Kandungan kalium (K) dalam kompos juga bisa ditingkatkan mutunya dengan
cara menambahkan abu dapur hasil pembakaran sekam padi atau serbuk gergaji
sebanyak 3 % atau 3 kg per 100 kg kompos. Pencampurannya bisa dilakukan secara
manual (jumlah kecil) dan menggunakan mesin (jumlah besar).
BAB III
METODOLOGI
3.1. Tempat dan Waktu
Pelaksanaan Tugas Akhir dilakukan di PPPPTK Pertanian Cianjur
Departemen Agribisnis Peternakan dimulai pada tanggal 23 Februari sampai dengan
tanggal 15 April 2012.
3.2.
Alat
dan Bahan
3.2.1. Alat
Alat yang digunakan untuk proses pembuatan kompos adalah: sekop,
cangkul, garu, sepatu boot, termometer, timbangan, ember, saringan dan karung.
3.2.2. Bahan
Bahan-bahan yang dibuat
kompos antara lain:
a.
Limbah
Peternakan (Feses sapi)
Kotoran
sapi dihasilkan dari kandang sapi yang berasal dari Departemen Agribisnis
Peternakan PPPPTK Pertanian Cianjur.
b.
Aktivator
Dekomposer
Activator decomposer pembuatan pupuk kompos menggunakan stardec yang berupa kumpulan koloni
mikrobia yang dimanfaatkan sebagai pengurai bahan baku dalam mempercepat pengomposan.
c.
Bahan Tambahan
·
Bahan Organik
Bahan
organik berasal dari hijauan alang-alang yang ada di sekitar kandang, bahan ini
berfungsi untuk meningkatkan unsur hara N yang terkandung dalam pupuk kompos.
·
Serbuk Gergaji
Bahan ini digunakan sebagai alas kandang yang
berfungsi untuk menghangatkan sapi, selain itu bahan ini dapat menyerap urine
yang dihasilkan oleh sapi dan penambah unsur N.
·
Abu Organik
Abu organik
berasal dari hasil pembakaran sekam padi. Fungsi
abu dalam proses dekomposisi adalah sebagai pensuplai unsur Kalium (K), sebagai
buffer pH selama proses dekomposisi, serta memperbaiki aerasi.
·
Kalsit
Fungsi kalsit ini dalam
proses dekomposisi bahan organik adalah
untuk membuffer pH sehingga
proses dekomposisi dapat berjalan dengan cepat.
3.3. Rancangan/Strategi Pelaksanaan
Rancangan yang digunakan dalam pembuatan kompos berbahan dasar
pupuk kandang adalah dengan metoda eksperimen yaitu suatu penelitian yang
berusaha mencari pengaruh variable tertentu terhadap variable yang lain dalam
kondisi yang terkontrol secara ketat. Bentuk metode eksperimen yang
diambil adalah true experimental. Strategi pelaksanaan menggunkan strategi komparatif dengan
membandingkan hasil dari pengamatan pembuatan kompos dengan tiga perlakuan,
yaitu pemberian jumlah aktivator stardec yang berbeda pada masing-masing bahan
P1 (0,15 %), P2 (0,25 %), P3 (0,35 %). Sedangkan dalam teknik pengambilan
sample menggunakan teknik probability
yaitu teknik
pengambilan sample dengan memberi peluang yang
sama bagi setiap unsur dari populasi untuk dipilih menjadi sample. Kegiatan tugas akhir dilaksanakan dengan beberapa
tahap, yaitu:
3.3.1. Persiapan
Alat dan Bahan
Kegiatan
diawali dengan mempersiapkan tempat kegiatan produksi yang terlindung dari
matahari langsung dan hujan, selain itu tidak lupa alat lain yang diperlukan.
Bahan yang akan digunakan berupa kotoran sapi beserta urine yang di campur
bahan tambahan lain.
a.
Mempersiapkan
tenaga kerja
b.
Mempersiapkan
tempat pembuatan kompos
c.
Mempersiapkan
alat seperti: timbangan, cangkul, sekop, karung, ember dan peralatan K3.
d.
Menimbang bahan
baku menjadi tiga perlakuan dengan jumlah bobot masing-masing sebanyak 700 kg.
e.
Mempersiapkan
dan menimbang aktivator serta bahan tambahan yang akan digunakan seperti:
stradec, abu sekam, serbuk gergaji, dan kalsit.
3.3.2. Pelaksanaan
Kegiatan dilakukan dalam
beberapa tahap, yaitu:
a.
Penyiraman bahan
baku untuk mencapai kadar air 60 %.
b.
Mempersiapkan
bahan tambahan dan mencampur dengan bahan baku feses sampai homogen. Setelah
itu diberikan aktivator stardec dengan jumlah berbeda pada masing-masing bahan
baku, antara lain: (1) 0.15 % (1.19 kg), (2) 0.25 % (1.99 kg) dan (3) 0.35% (2.80 kg).
c.
Untuk mencapai
panas yang optimal, ketinggian campuran bahan baku harus mencapai 1-1.5 meter.
Ketinggian satu meter bisa mencapai 40-60 ºC, sedangkan lebih dari satu meter
bisa mencapai 60-75 ºC.
d.
Timbunan bahan
baku didiamkan selama 30-40 hari hingga matang
e.
Melakukan
pengontrolan
·
Monitoring
temperatur tumpukan
·
Monitoring
kelembapan
·
Monitoring
oksigen
·
Monitoring
kecukupan C/N rasio
·
Monitoring
volume
f.
Selama proses
pembuatan kompos dibalik setiap minggu dan dilakukan pengamatan yang terdiri
dari empat parameter organoleptik (warna, aroma, tekstur dan temperatur).
3.3.3. Tahap Akhir
Kegiatan yang dilakukan pada
tahap akhir ini meliputi:
a.
Analisis data pengamatan
b.
Menarik
kesimpulan
c.
Membuat laporan
Tugas Akhir
3.4. Parameter Pengamatan
dan Teknik Pengumpulan Data
3.4.1. Parameter
Pengamatan
Parameter pengamatan ditinjau dari hasil dan proses
pembuatan kompos yang membuat tiga perlakuan bahan sehingga mendapatkan
perbandingan baik dari kualitas fisik dan efektifitas jumlah bahan yang
digunakan. Parameter tersebut meliputi:
a.
Warna
Pengamatan
warna dengan melihat langsung perubahan proses pengomposan selama dekomposisi
berlangsung setiap pembalikan.
b.
Aroma
Parameter
ini dilakukan dengan cara mengambil sampel dan mencium kompos dengan membedakan
aroma yang dihasilkan selama proses dekomposisi setiap pembalikan bahan.
Biasanya pada awal proses pembuatan masih tercium bau amoniak yang menyengat.
c.
Tekstur
Dilakukan
dengan mengambil sampel bahan dan membedakan tektur/keremahan bahan selama
proses dekomposisi berlangsung. Perlakuan ini dilakukan disaat pembalikan
kompos dengan membedakan keremahan setiap minggunya.
d.
Temperatur
Pengamatan
temperatur dengan cara memasukan thermometer kedalam tumpukan kompos. Hal ini
dilakukan sebelum pembalikan pertama sampai akhir untuk mengetahui suhu yang
dihasilkan.
3.4.2. Teknik
Pengumpulan Data
Pengumpulan data diambil selama proses produksi
berlangsung, meliputi:
a.
Analisis data
dari hasil pengamatan selama proses produksi, data tersebut berasal dari jurnal
dan catatan harian produksi kompos.
b.
Studi Pustaka
c.
Wawancara
3.5. Jadwal Pelaksanaan
Tabel 7. Jadwal pelaksanaan
tugas akhir
No.
|
Kegiatan
|
Januari
2012
|
Pebruari
2012
|
Maret
2012
|
Aril 2012
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1.
|
Pembekalan tugas akhir
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2.
|
Penyusunan proposal tugas akhir
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3.
|
Pelaksanaan tugas akhir
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
4.
|
Penyusunan laporan TA
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5.
|
Penyelesaian laporan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
6.
|
Persiapan seminar tugas
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
7.
|
Seminar hasil tugas akhir
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
8.
|
Perbaikan dan finishing laporan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
9.
|
Penyerahan laporan tugas akhir
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
10.
|
Konsultasi/ bimbingan tugas akhir
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Kegiatan
Aplikasi
penggunaan stardec dalam proses pembuatan kompos ternak ruminansia adalah
sebagai berikut:
4.1.1. Alur Proses
Pembuatan Pupuk Kompos:
4.1.2. Proses
Pembuatan Pupuk Kompos
1)
Persiapan Bahan dan Peralatan
a. Bahan
Bahan baku untuk pembuatan
kompos terdiri dari:
·
Limbah
Peternakan (Feses sapi)
Kotoran
sapi (gambar 1) yang digunakan sebesar 87.50 % dari keseluruhan bahan baku. Penggunaan
kotoran sapi sebagai bahan baku disebabkan karena bahan ini sangat melimpah
serta kandungan nutrientnya beragam dan cukup tinggi.
Gambar 1. Kotoran Sapi
·
Aktivator
Dekomposer
Stardec
yang digunakan sebesar 0.22 % dari jumlah keseluruhan bahan. Penggunaan stardec
karena memiliki kegunaan dalam mempercepat proses dekomposisi.
Gambar 2. Aktivator Stardec
·
Bahan Tambahan
·
Bahan Organik
Bahan
organik berasal dari alang-alang berjenis legume dan graminae yang ada di
sekitar kandang, bahan ini berfungsi untuk meningkatkan unsur hara N yang terkandung
dalam pupuk kompos. Penggunaan bahan organik
2.62 % dari jumlah keseluruhan bahan baku.
Gambar 3. Bahan Organik
·
Serbuk Gergaji
Serbuk gergaji digunakan sebagai penambah mutu kompos
yang mengandung unsur hara K. Penggunaan serbuk gergaji 4.38 % dari
jumlah keseluruhan bahan baku.
Gambar 4.
Serbuk Gergaji
·
Abu Organik
Abu organik
berasal dari hasil pembakaran sekam padi (pada gambar 5). Menurut Suharto 2009.,
Fungsi
abu dalam proses dekomposisi adalah sebagai pensuplai unsur Kalium (K), sebagai
buffer pH selama proses dekomposisi, serta memperbaiki aerasi. Bahan yang dugunakan sebanyak 2.62 % dari
jumlah keseluruhan bahan baku.
Gambar 5. Abu Organik (Sekam Bakar)
·
Kalsit/Kapur
Menurut Suharto 2009., Fungsi
kalsit ini dalam proses dekomposisi bahan organik adalah untuk membuffer
pH sehingga proses dekomposisi dapat berjalan dengan cepat. Penggunaan kalsit pada pembuatan kompos sebesar 2.62 % dari
jumlah keseluruhan bahan baku.
Gambar 6. Kalsit/Kapur
b. Peralatan
Ada
beberapa peralatan yang dibutuhkan untuk pembutan pupuk kompos diantaranya: sekop/cangkul, saringan/ayakan, termometer, timbangan, sepatu boot, sarung tangan dan masker.
2)
Penimbangan
Bahan yang
sudah disiapkan ditimbang terlebih dahulu untuk menyesuaikan dengan standar
formulasi yang sudah ditentukan. Persentase penggunaan bahan tambahan
disesuaikan dengan kebutuhan bahan baku kotoran sapi agar dalam proses dekomposisi sesuai dengan
apa yang diharapkan.
Gambar
7. Proses Penimbangan
Adapun kebutuhan masing-masing bahan dalam pembuatan kompos
ternak ruminansia pada tabel berikut:
Tabel 8.
Kebutuhan Bahan Pembuatan Pupuk Kompos
No.
|
Bahan
|
PERLAKUAN
|
Jumlah Keseluruhan
|
P1
|
P2
|
P3
|
Kg
|
%
|
Kg
|
%
|
Kg
|
%
|
Kg
|
%
|
1.
|
Kotoran
Ternak
|
700
|
87.58
|
700
|
87.50
|
700
|
87.41
|
2100
|
87.50
|
2.
|
Stardec
|
1.19
|
0.15
|
1.99
|
0.25
|
2.80
|
0.35
|
5.98
|
0.25
|
3.
|
Bahan
Organik
|
21
|
2.62
|
21
|
2.62
|
21
|
2.62
|
63
|
2.62
|
4.
|
Serbuk
Gergaji
|
35
|
4.38
|
35
|
4.38
|
35
|
4.38
|
105
|
4.38
|
5.
|
Abu
Organik
|
21
|
2.62
|
21
|
2.62
|
21
|
2.62
|
63
|
2.62
|
6.
|
Kalsit/
Kapur
|
21
|
2.62
|
21
|
2.62
|
21
|
2.62
|
63
|
2.62
|
|
Jumlah
|
799.19
|
|
799.99
|
|
800.80
|
|
2399.98
|
|
|
Persentase
|
|
99.97
|
|
99.99
|
|
100
|
|
99.99
|
Penggunaan
bahan yang dicantumkan dalam tabel 9. dimaksudkan untuk menambah kadar unsur
hara makro yang tekandung dalam kompos seperti N, P dan K. Bahan-bahan tersebut
mempunyai kandungan unsur hara yang berbeda, seperti:
·
Kotoran Ternak
Kotoran yang digunakan untuk pembuatan kompos sebanyak
2100 kg, kemudian bahan ini dibagi menjadi tiga tumpukan dengan diameter tinggi
1 m dan panjang 2 meter membentuk bedengan. Masing-masing tumpukan berjumlah
700 kg.
·
Aktivator Dekomposer
Penggunaan stardec menyesuaikan dengan pengggunaan
bahan baku kotoran ternak dengan persentase penggunaan 0,22 % (5.98 kg) dari
keseluruhan bahan. Penggunaan aktivator diberikan dengan persentase yang
berbeda pada masing-masing tumpukan, tujuannya adalah agar dalam proses
dekomposisi bisa dilihat pengaruh yang terjadi pada ketiga bahan tersebut.
Penggunaan stardec untuk masing-masing bahan antara lain: (a) P1 1.19 kg, (b)
P2 1.99 kg, dan (c) P3 2..80 kg.
·
Bahan Organik
Penggunaan bahan organik berupa hijauan legume dan
graminae berasal dari sisa pakan yang terbuang, maupun pemanfaatan alang-alang
disekitar kandang. Persentase penggunaan bahan organik sebesar 2.62 % (21 kg)
dikali tiga perlakuan kompos. Jumlah keseluruhan pemakaian abu sekam mencapai
63 kg.
·
Serbuk Gergaji
Penggunaan serbuk gergaji sebesar 4.38 % (35 kg) untuk
masing-masing perlakuan pembuatan pupuk kompos. Penggunaan keseluruhan mencapai
105 kg. Menurut Suharto 2009., tujuan
penambahan serbuk gergaji ini adalah untuk memperbaiki aerasi bahan organik
yang akan didekomposisi. Penambahan serbuk gergaji juga dimaksudkan untuk
menambahkan lignin dan sellulosa sehingga akan meningkatkan
kualitas kompos yang dihasilkan tercermin dari tingginya nilai tukar kation
(KTK).
·
Abu Organik
Penggunaan abu organik berupa sisa pembakaran sekam
padi, persentase penggunaan abu 2.62 % (21 kg) untuk masing-masing perlakuan.
Jumlah keseluruhan pemakaian abu sekam mencapai 63 kg. Menurut Suharto 2009., Fungsi
abu dalam proses dekomposisi adalah sebagai pensuplai unsur Kalium (K), sebagai
buffer (penyangga/penahan)
pH selama proses dekomposisi, serta memperbaiki aerasi. Sehigga proses dekomposisi berjalan dengan baik.
·
Kalsit/kapur
Penggunaan
kalsit pada pembuatan kompos sebesar 2.62 % atau 21 kg untuk masing-masing
perlakuan. Jumlah penggunaan keseluruhan sebanyak 63 kg. Sama halnya
dengan abu organik, fungsi dari kapur sebagai buffer pH dari bahan baku yang akan dikomposkan. Hal ini karena
mikrobia yang ada didalam stardec membutuhkan pH yang netral sehingga dapat
mempercepat proses dekomposisi.
3)
Penumpukan
Setelah
proses penimbangan, bahan-bahan yang sudah disiapkan di bagi menjadi tiga tumpukan
(P1, P2 dan P3). Proses awal yang dilakukan adalah dengan menyiapkan bahan baku
kotoran. Masing-masing tumpukan memiliki diameter tinggi 1 meter dan panjang 2
meter memanjang dan segitiga membentuk bedengan. Hal ini bertujuan untk
mencapai temperatur tumpukan yang maksimum yaitu 40-60 ºC. Setelah itu, bahan
yang sudah dipisahkan ditaburi hijauan yang sudah dicacah dengan jumlah yang
sudah ditentukan. Pencacahan beretujuan untuk memperluas permukaan bahan agar
mempermudah mikroba dekomposer beraktivitas sehingga bahan baku cepat terurai. Pada
saat proses penirisan bahan baku kotoran, penaburan hijauan didahulukan karena
bertujuan untuk pelayuan agar mudah dalam proses pengadukan.
Gambar 8.
Tiga Tumpukan Bahan Kompos
4)
Penyiraman
Sebelum
dilakukan pencampuran bahan baku disiram terlebih dahulu, baik menggunakan air
maupun urine sapi. Hal ini dilakukan karena untuk memenuhi standar dan
keberhasilan proses dekomposisi sebaiknya kadar air yang dikandung bahan baku
sebesar 60 %.
5)
Penirisan
Penirisan
bertujuan untuk homogenitas air yang terkandung dalam bahan baku, sehingga air
yang baru disiramkan merata sampai ke dasar tumpukan bahan.
6)
Pencampuran
Bahan Baku
Pencampuran
bahan (pada gambar 9 dan 10) dilakukan dengan menaburkan bahan tambahan
terlebih dahulu seperti hijauan, serbuk gergaji, kapur dan abu sekam, setelah
itu ditaburkan stardec pada masing-masing perlakuan. Penaburan dilakukan
sedikit demi sedikit agar bahan tambahan tercampur dengan baik/ homogen.
Gambar 9. Proses Pencampuran Bahan
Gambar 10. Finishing Proses
Pencampuran
7)
Monitoring
Pengontrolan
dilakukan selama proses dekomposisi berlangsung yaitu setiap satu minggu sekali
dengan melihat perubahan yang ditimbulkan. Pada proses dekomposisi, perubahan
yang dihasilkan bisa dilihat pada waktu pembalikan berlangsung, yaitu suhu
panas yang ditimbulkan bahan baku yang terdekomposisi, tekstur, aroma dan
warna.
8)
Pembalikan
Pembalikan dilakukan untuk membuang panas yang
berlebihan, memasukkan udara segar ke dalam tumpukan bahan, meratakan proses
pelapukan di setiap bagian tumpukan, meratakan pemberian air (60 %
kadara air bahan),
serta membantu penghancuran bahan menjadi partikel kecil-kecil. (Sumber: Wikipedia.org)
Pembalikan
dilakukan setelah analisa perubahan ke tiga tumpukan bahan, hal ini ditinjau
dari pengujian organoleptik seperti: temperatur, warna, aroma, dan tekstur
bahan. Pengontrolan bertujuan untuk melihat pengaruh perubahan ketiga perlakuan
bahan dari hasil proporsi pemberian aktivator stardec pada masing-masing bahan.
Sewaktu proses pembalikan, semakin lama proses dekomposisi, semakin terlihat
perubahan yang di timbulkan menuju kematangan kompos.
9)
Pendinginan
Setelah
proses pengomposan berjalan selama 30-40 hari suhu tumpukan akan semakin
menurun. Pada saat itu bahan kompos akan lapuk dan terlihat berwarna coklat tua
serta tidak menimbulkan bau amoniak. Proses pendinginan berjalan selama 15 hari
sampai kompos terasa dingin mencapai suhu ruangan yaitu 25 ºC.
10) Penyaringan
Penyaringan dilakukan setelah proses pendinginan
selesai sampai kompos benar-benar matang. Penyaringan bertujuan untuk
menyelaraskan ukuruan partikel kompos serta memisahkan bahan-bahan yang tidak
diharapkan seperti plastik atau benda yang tidak terdekomposisi.
4.2. Pembahasan
Aplikasi
penggunaan stardec pada proses pembuatan kompos berbahan dasar kotoran ternak
ruminansia dapat dikatakan singkat. Menurut Suhut dan Salundik 2006., aktivator
adalah mikrobia yang bisa merangsang mikroorganisme yang ada di dalam bahan
kompos berkembang. Akibatnya mikroorganisme yang terlibat semakin banyak maka
proses dekomposisi akan semakin cepat. Dari keterangan tersebut dan hasil perbandingan
pada analisis selama pembuatan kompos menggunakan bahan dasar kotoran ternak
ruminansia. Perubahan yang ditimbulkan sangat sesuai dengan teori yang
diutarakan, terbukti dengan adanya hasil yang didapatkan. Aplikasi pemberian
stardec dengan jumlah yang berbeda pada tiga tumpukan bahan dasar kompos serta
beberapa bahan tambahan dengan proporsi yang sama dapat diperoleh hasil sebagai
berikut:
Tabel 9. Hasil Uji Organoleptik
Minggu
|
Warna
|
Aroma
|
Tekstur
|
Temperatur
|
P1
|
P2
|
P3
|
P1
|
P2
|
P3
|
P1
|
P2
|
P3
|
P1
|
P2
|
P3
|
P.Awal
|
wh
|
wh
|
wh
|
asm
|
asm
|
asm
|
tl
|
tl
|
tl
|
-
|
-
|
-
|
1.
|
wh
|
whk
|
whk
|
asm
|
asm
|
asm
|
tl
|
tsr
|
tsr
|
30
|
39
|
34
|
2.
|
whk
|
whk
|
whk
|
am
|
am
|
am
|
tl
|
tsr
|
tsr
|
40
|
40
|
42
|
3.
|
whk
|
wc
|
wc
|
ab
|
ab
|
ab
|
tl
|
tsr
|
tsr
|
43
|
44
|
47
|
4.
|
whk
|
wc
|
wc
|
atb
|
atb
|
atb
|
tsr
|
tr
|
tr
|
55
|
55
|
58
|
5.
|
whk
|
wc
|
wc
|
atb
|
atb
|
atb
|
tr
|
tr
|
tr
|
41
|
42
|
42
|
Keterangan tabel 9. Hasil Uji Organoleptik:
Kriteria
di bagi menjadi tiga jenis dengan simbol
inisial huruf yang digunakan sebagai parameter.
1. Warna
a. Hitam (WH)
b. Coklat (WC)
c. Hitam
Kecoklatan (WHK)
2. Aroma
a. Berbau (AB)
b. Tidak
Berbau (ATB)
c. Menyengat
(AM)
d. Sangat
Menyengat (ASM)
|
3. Tekstur
a. Lembek (TL)
b. Sedikit
Remah (TSR)
c. Remah
(TR)
4. Temperatur
Suhu dilihat
dari angka yang ditunjukan alat thermometer pada tiga bahan perlakuan dengan
satuan ºC. Pengecekan suhu dilakukan setiap minggu sebelum pembalikan.
|
4.2.1. Perlakuan 1
(penggunaan stardec 0,15 %/ 1,19 kg)
Tabel 10.
Hasil Anilisis Organoleptik Perlakuan 1
Minggu
|
Warna
|
Aroma
|
Tekstur
|
Temperatur
|
1.
|
wh
|
asm
|
tl
|
30
|
2.
|
whk
|
am
|
tl
|
40
|
3.
|
whk
|
ab
|
tl
|
43
|
4.
|
whk
|
atb
|
tsr
|
55
|
5.
|
whk
|
atb
|
tr
|
41
|
Berikut
akan dijelaskan keterangan perkembangan proses dekomposisi pada perlakuan satu
di setiap minggunya:
a.
Warna
Warna yang
dihasilkan pada perlakuan satu di minggu pertama masih seperti saat penumpukan
dan setelah pencampuran bahan yaitu berwarna hitam. lalu pada minggu kedua
mengalami perubahan menjadi warna hitam kecoklatan. Sedangkan untuk minggu ketiga
sampai minggu kelima warna yang
dihasilkan tidak ada perubahan karena menunjukan hasil yang sama dengan minggu
kedua.
b.
Aroma
Aroma yang
dihasilkan pada minggu pertama masih seperti saat awal penumpukan yang
menimbulkan bau yang sangat menyengat. Setelah minggu kedua kadar bau amoniak
yang ditimbulkan menyengat. Lalu pada minggu ketiga aroma bahan baku mengalami
perubahan dengan ditandai berkurangnya bau yang dihasilkan. Sedangkan hilangnya
bau amoniak dari bahan baku ditunjukan pada minggu keempat dan kelima.
c.
Tekstur
Tekstur
yang dihasilkan dari minggu pertama sampai minggu ketiga masih sama sewaktu
proses penumpukan dan pencampuran dengan tidak menunjukan perubahan yang
signifikan. Hal ini dilihat dengan hasil yang masih lembek. Sedangkan pada
minggu keempat bahan baku sudah mengalami perubahan menjadi sedikit remah. Lalu
pada minggu kelima tekstur bahan sudah terasa remah dan mendekati kematangan.
d.
Temperatur
Pada minggu
pertama tumpukan kompos perlakuan satu menghasilkan suhu mencapai 30 ºC, lalu pada
minggu kedua suhu bahan baku menunjukan perubahan dengan adanya peningkatan mencapai
33.3 % yaitu menjadi 40 ºC. Suhu kompos mengalami perkembangan kembali dengan
kenaikan 7.5 % menjadi 43 ºC di minggu
ketiga. Sedangkan suhu tertinggi yang dihasilkan di tunjukan pada minggu keempat
dengan mengalami perkembangan yang sangat signifikan mencapai 21.82 % menjadi
55 ºC. Setelah minggu kelima suhu kompos mengalami penurunan kembali dengan
hasil 41 ºC, hal ini disebabkan karena bahan sudah mendekati kematangan.
4.2.2. Perlakuan 2
(penggunaan stardec 0,25 %/ 1,99 kg)
Tabel 11.
Hasil Anilisis Organoleptik Perlakuan 2
Minggu
|
Warna
|
Aroma
|
Tekstur
|
Temperatur
|
1.
|
whk
|
asm
|
tsr
|
39
|
2.
|
whk
|
am
|
tsr
|
40
|
3.
|
wc
|
ab
|
tsr
|
44
|
4.
|
wc
|
atb
|
tr
|
55
|
5.
|
wc
|
atb
|
tr
|
42
|
Berikut akan dijelaskan keterangan perkembangan proses
dekomposisi pada perlakuan dua di setiap minggunya:
a.
Warna
Warna yang
dihasilkan pada minggu pertama dan kedua menunjukan hasil yang signifikan, hal
ini dilihat dengan perubahan dari fase berwarna hitam menjadi hitam kecoklatan dalam
jangka penimbunan satu minggu. Lalu pada minggu ketiga sampai dengan minggu kelima
bahan baku mengalami perkembangan kembali dengan menunjukan perubahan warna
menjadi cokelat.
b.
Aroma
Aroma yang
dihasilkan pada minggu pertama masih seperti saat awal penumpukan yang
menimbulkan bau yang sangat menyengat. Setelah minggu kedua kadar bau amoniak
yang ditimbulkan menyengat. Lalu pada minggu ketiga aroma bahan baku mengalami
perubahan dengan ditandai berkurangnya bau yang dihasilkan. Sedangkan aroma
yang sudah tidak berbau bau amoniak dari bahan baku ditunjukan pada minggu keempat
dan kelima.
c.
Tekstur
Pada minggu
pertama sampai dengan minggu ketiga tekstur sudah menunjukan perubahan dari
fase lembek menjadi sedikit remah. Sedangkan tekstur bahan baku yang sudah
berubah menjadi remah di tunjukan pada minggu keempat dan kelima.
d.
Temperatur
Suhu yang
dihasilkan pada minggu pertama hanya mencapai 39 ºC, lalu pada minggu kedua
suhu bahan baku mangalami perkembangan. Akan
tetapi hasil yang didapatkan hanya naik 1 ºC saja, menjadi 40 ºC. Suhu bahan
baku mengalami kenaikan kembali pada minggu ketiga yang mencapai 10 % menjadi
44 ºC. Sedangkan suhu tertinggi dihasilkan pada minggu keempat yang mencapai 20
% menjadi 55 ºC. Pada minggu kelima temperatur bahan baku mengalami penurunan
menjadi 42 ºC. Hal ini karena tumpukan bahan sudah mendekati proses pendinginan
dan pematangan.
4.2.3. Perlakuan 3
(penggunaan stardec 0,35 %/ 2,80 kg)
Tabel 12.
Hasil Anilisis Organoleptik Perlakuan 3
Minggu
|
Warna
|
Aroma
|
Tekstur
|
Temperatur
|
1.
|
whk
|
asm
|
tsr
|
34
|
2.
|
whk
|
am
|
tsr
|
42
|
3.
|
wc
|
ab
|
tsr
|
47
|
4.
|
wc
|
atb
|
tr
|
58
|
5.
|
wc
|
atb
|
tr
|
42
|
Pada
perlakuan yang ketiga perkembangan atau perubahan yang dihasilkan untuk tiga parameter
seperti: warna, aroma dan tekstur sama persis dengan perlakuan yang kedua. Akan
tetapi dari perkembangan suhu pada bahan baku perlakuan ketiga berbeda dengan
perlakuan kedua. Hal ini di tunjukan dengan perkembangan suhu pada minggu
pertama hanya mencapai 34 ºC berbeda dengan perlakuan kedua yang mencapai 39
ºC, suhu ini belum mencapai standar yang ditentukan. Pada minggu kedua suhu
bahan baku mangalami perkembangan
mencapai 23.5 % yaitu menjadi 42 ºC. Selanjutnya suhu mengalami kenaikan kembali
mencapai 11.90 % menjadi 47 ºC.
Sedangkan suhu tertinggi dari bahan baku di tunjukan pada minggu keempat
dengan mengalami kenaikan mencapai 23.40 % menjadi 58 ºC. Lalu pada minggu kelima
temperatur menurun menjadi 42 ºC, hal ini karena mendekati proses pendinginan
dan pematangan.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Simpulan
5.1.1.
Pengaruh
penggunaan aktivator stardec terhadap kotoran ruminansia tentunya terjadi
proses dekomposisi yang menguraikan bahan tersebut menjadi kompos. Sehingga
bisa digunakan sebagai bahan pembenah tanah (soil conditioner) maupun untuk
mencukupi kebutuhan unsur hara bagi tanaman.
5.1.2.
Dalam
prosesnya penggunaan stardec dengan melebihi batas pemakaian mencapai 0,10 %,
tidak berpengaruh buruk terhadap kualitas kompos yang dihasilkan. Akan tetapi
penambahan aktivator ini malah mempercepat proses dekomposisi sesuai dengan
sifat mikroba yang dikandungnya. Sebaliknya dengan pengurangan penggunaan
stardec bisa memperlambat proses dekomposisi yang pada akhirnya menurunkan
kualitas kompos.
5.2.
Saran
5.2.1.
Sebagai
mahasiswa yang berdedikasi di bidang peternakan dihimbau untuk selalu berbagi
ilmu yang dimiliki dengan orang-orang disekitar. Karena hal yang di anggap
kecil akan menjadi besar apabila diberikan kepada orang yang tepat dan
berkemauan untuk berkembang.
5.2.2.
Kompos bisa
bermanfaat bagi para peternak kecil dengan menjadikan kemandirian didalam
kandang ternaknya lewat kotoran yang dihasilkan sehingga “Revolusi Hijau” bisa
terlaksana.
5.2.3.
Perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut agar data yang didapatkan lebih valid dan
bisa bermanfaat bagi setiap orang.
DAFTAR PUSTAKA
Sukamto H, 2008., Membuat Pupuk Kompos Cair, Jakarta: PT.
AgroMedia Pustaka.
Ir. Suhut S. MS, Ir.
Salundik, Msi, 2006., Meningkatkan Kualitas
Kompos, Jakarta: PT. AgroMedia Pustaka.
Gaur, A. C,.
1983.. dalam Ir. Suhut S. MS, Ir. Salundik, Msi, 2006., Meningkatkan Kualitas Kompos, Jakarta:
PT. AgroMedia Pustaka.
Djuarnani, Nan,
Ir.MSc.,Kristian, dan Budi Susilo Setiawan, 2005., dalam Ir. Suhut S. MS, Ir. Salundik, Msi, 2006., Meningkatkan Kualitas Kompos, Jakarta:
PT. AgroMedia Pustaka.
AgroMedia, 2010., Petunjuk Pemupukan, Jakarta: AgroMedia.
Balai Besar Litbang. 2006. Pupuk Organik dan Hayati.Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Deptan.Bogor-Jawa Barat.
Sutanto, R.
2002. Dalam
balai besar litbang.
J.H.
Crawford, 2003. Dalam
balai besar litbang.
Soekirman. 2005. Dalam
balai besar litbang.
Suharto et al.,
2009.Pupuk Organik Fone Compost.PT.LHM
Research Station. Solo – Jawa Tengah.
Gaur., 1980., Dalam
Suharto et al., 2009.Pupuk Organik Fone Compost.PT.LHM Research
Station. Solo – Jawa Tengah.
Abdurohim,
Oim. 2008. Pengaruh Kompos Terhadap Ketersediaan Hara Dan Produksi Tanaman
Caisin Pada Tanah Latosol Dari Gunung Sindur, sebuah skripsi. Dalam IPB Repository, diunduh 13 Desember 2011.